Tat Twam Asi

Harmoni bagi orang Bali senantiasa utama. Namun maksud menjaga keselarasan ini justru malah melahirkan kekerasan, tatkala mereka salah mengartikan makna keseimbangan, keragaman, dan kebersamaan. Yang berani beda, bisa jadi bernasib disingkirkan. Kalau bisa dimusnahkan. Mengapa? Karena dianggap merusak harmoni. Bila sudah begitu, hukum adat bisa dijadikan senjata untuk menikam.

Orang Bali tidak kunjung sadar. Dengan caranya yang pakem, orang Bali justru mengubur pembaruan, meredam kreativitas, hingga akhirnya menghilangkan sanak saudara dan kerabat sendiri.

Orang Bali menikam sesamanya sendiri adalah sejarah kelam. Ganjil. Tidak wajar. Aneh. Seolah-olah orang Bali sudah lupa dengan tat twam asi: pegangan hidup yang mengajarkan agar manusia senantiasa mengasihi sesama. Kalau menikam orang lain, sama artinya dengan membacok diri sendiri.

Fenomena kehidupan masyarakat di Bali pernah sekali ditangkap oleh majalah budaya asli Bali: Sarad. Majalah ini mengungkap perihal pikir, kata, dan tindak tanduk manusia di Bali. Pengerjaan jurnalistiknya juga oleh orang Bali, yang tentu punya cita rasa khas Bali.

Majalah Sarad lahir di tengah hiruk pikuk Denpasar, pada Januari 2000. Pertama kali didirikan, Sarad punya jargon: menyuguhkan Bali yang unik dan otentik. Alasannya, para penggagas Sarad merasa pengerjaan literatur tentang Bali lebih banyak yang digarap orang asing, ketimbang orang Bali sendiri.

Seperti media lainnya, rubrikasi dilakukan. Mulai editorial, opini redaksi, hingga muncul “Paruman” (liputan utama). Rubrik ini selanjutnya berganti nama menjadi “Samatra”, yang artinya suguhan, sambutan ringkas, padat, sederhana. Mengingat Sarad adalah majalah bulanan, maka Gde Aryantha Soethama diserahi tanggung jawab menulis di Samatra saban bulan.

***

Prolog 2015, aku menerima kiriman buku dari teman di Denpasar. Judulnya cukup tegang: Bali Tikam Bali, lengkap dengan gambar sampul orang Bali menusukkan parang ke dadanya sendiri. Dan Gde Aryantha Soethama (selanjutnya disebut As), penulisnya. Namanya tak begitu asing. Ke-Bali-annya dapat ditebak. Setelah membaca halaman prakata, ternyata Bali Tikam Bali memuat 40 esai As sepanjang Januari 2000 hingga Desember 2003.

Sementara itu, wacana wajib magang pada Mei 2016 sudah tersiar masuk telingaku sejak April 2015. Bagiku, wajib magang adalah pekerjaan yang lumayan, ketimbang cuma duduk melongo di dalam kelas.

Dengar ada wajib kerja praktek di luar Salatiga, pikiranku tidak macam-macam: pokoknya di Sarad. Lantas kuberanikan diri menghubungi As melalui surel. Pesanku hanya satu: memastikan apakah majalah Sarad masih mengudara? Karena tidak ada informasi yang jelas terkait nasib terkini dari Sarad.

“Tapi, sayang Sarad sudah almarhum. Sejak 2010 atau 2011, saya lupa,” tulis As membalas.

Sarad tidak lagi mengunjungi pembacanya. Sejak awal, As berniat agar Sarad selalu dekat dengan subyek dan obyek peliputannya. Agar membumi dengan pembaca juga. Namun ketika As sudah tidak aktif lagi, lama-lama Sarad menjadi seperti jurnal. Jurnalisnya menulis dari belakang meja. Bukannya laporan lapangan, Sarad malah menjadi majalah yang menggurui soal filsafat manusia Bali, pernak-pernik upacara Hindu-Bali, atau ragam tradisi Bali. “Miskin laporan,” tulis As, berani mengakui.

Kendati Sarad sudah tak mengudara, kumpulan laporan As dihimpun penerbit Arti Foundation untuk dicetak, lalu disebarluaskan. Hingga akhirnya sampai di tanganku. Bali dalam potret Bali Tikam Bali, jelas-jelas membahas kehidupan orang Bali di pulau Bali, dengan cara-cara asli Bali. Semisal petuah hidup manusia Bali, tradisi adat di Bali, dinamika keguyuban orang Bali melalui bale banjar (balai kampung), bahasa Bali, pengaruh asing terhadap kehidupan Bali, hingga rusuh Bali saat pecah 1965.

Membaca Bali Tikam Bali, mendadak serasa jadi orang Bali. Pendekatan ke-Bali-an ala As, secara tak langsung mengatakan bahwa potret kehidupan di Bali dengan di tempat lain, sebenarnya, tak banyak bedanya.

***

Tat twam asi. Ia adalah kamu. Petuah ini tergambar dalam kehidupan guyub di Bali. As menyebut dinamika orang Bali adalah dinamika sekaa (kelompok). Dinamika seperti ini tampak jelas dalam pola kekerabatan banjar.

Saking banyaknya aktivitas manusia Bali, sejak ia lahir, dapat jodoh, dan mati, tak pernah lepas dari keterlibatan banjar. Pada perkembangannya, banjar menjadi penting karena dianggap dapat menentukan jati diri manusia Bali. Menolak banjar sama dengan menolak menjadi manusia Bali yang utuh.

Seperti di tempat lain, banjar punya aturan main: awig-awig, namanya. Untuk merumuskan awig-awig dan menyamakan visi, orang Bali punya tempat sangkep (rapat). Semuanya mereka lakukan di bale banjar.

Lama-lama, karena banyak keputusan yang diambil di bale banjar – mulai dari situasi desa hingga urusan perceraian – akhirnya bale banjar tak lagi sekedar sebuah tempat, melainkan juga saksi peradaban manusia Bali. As bilang, kalau bale banjar rusak, maka sekaa juga. Bisa  jadi, di sanalah tolok ukur seberapa jauh peradaban manusia Bali berubah digerus zaman, atau bertahan dengan tetek bengek pakemnya.

Mengingat sifat dinamis dan mandiri orang Bali, maka selain kepentingan guyub, bale banjar rupanya jadi ladang usaha berorientasi profit. Cara-caranya, bisa menampung pedagang makanan dan menyulap bale banjar jadi garasi mobil. Ada juga banjar yang kondang dan kaya karena diproyeksikan menjadi pusat seni.

Suatu ketika, As mewawancara seorang kakek bernama Ketut Rangun (kini almarhum). Ketut makin bimbang ketika bale banjar-nya – Banjar Gelulung – Sukawati, perlahan-lahan menampung pedagang kesenian. Ketut bertanya, kalau bale banjar melulu dipusatkan untuk pasar seni, di mana lagi anak-anak ‘kan bermain? Bagaimana untuk kegiatan adat? Apakah masih ada tempat? Mengingat, kini orang Bali banyak menghabiskan waktunya di rumah masing-masing. Lalu apalah arti bale banjar? Mungkinkah orang Bali mampu mempertahankan bale banjar sebagai pusat dinamika sosial, sementara kegiatan bisnis tetap berlangsung di sana? Di sinilah tantangan bagi orang Bali.

Di siniTat twam asi  dapat masuk sebagai jawaban. Pertanyaan di atas sangat mungkin ditanyakan pada pribadi orang Bali lebih dulu, sebelum membisniskan bale banjar-nya. Bila semua berpikir keakuan (egois), bisa-bisa sekaa jadi tiada karena orang Bali jadi malas ke bale banjar. Kalau sudah malas ke bale banjar, apalah arti menjadi orang Bali, selain terpenjara di rumah sendiri-sendiri?