Karir Yosep “Stanley” Adi Prasetyo di dunia pers, bermula di Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. Selesai sekolah di Malang, Stanley memilih lanjut ke Fakultas Teknik Jurusan Elektro pada 1980. Di “fakultas sandal jepit” itu Stanley bersama rekannya mendirikan majalah mahasiswa Elektro: Imbas.
Tahun 80-an, Imbas kondang gegara Stanley dengan teman-temannya mengangkat topik skandal monopoli pembelian alat praktikum elektro, serta alat laboratorium Fakultas Biologi dan Fakultas Pertanian. Majalah Imbas juga memberitakan adanya indikasi bisnis dan proyek pribadi di UKSW. Semua berita diterbitkan dalam majalah terbitan 30 November 1987. Majalah berjumlah 500 eksemplar itu ludes dan dicetak ulang! Sejak saat itu, pimpinan UKSW kebakaran jenggot. Tak kalah, Imbas juga sempat dilaporkan ke pihak keamanan oleh rektoratnya sendiri. Alasannya, “tidak tunduk pada ketentuan yang ada”.
Tapi itu dulu. Sekarang Stanley sudah ada di Jakarta. Yang terkini, Bagir Manan menyerahkan tongkat estafetnya ke Stanley, sebagai Ketua Dewan Pers periode 2016-2019. Kendati dulu di Salatiga dan kini di Jakarta, tetap ada satu persamaan: setia di ranah PERS.
***
Bagaimana ceritanya Om Stanley bisa berkarir di Dewan Pers?
Pasca Komnas HAM periode 2007-2012, saya hanya mengajar dan bekerja jadi konsultan di perusahaan bidang manajemen strategis. Hanya beberapa bulan, karena pada Oktober 2012 ada beberapa orang dan organisasi wartawan meminang saya untuk bersedia dicalonkan sebagai anggota Dewan Pers, mewakili unsur masyarakat. Mereka meminta biodata, foto diri untuk dikirim melalui surel. Saat itu, jelang tiga hari penutupan masa pencalonan. Saya tanya apa alasan teman-teman mau mencalonkan saya. Mereka menjawab, saya memenuhi kriteria sebagai calon. Latar belakang, jejaring dan pengalaman saya dianggap akan memberikan kontribusi untuk Dewan Pers.
Namun setelah itu tak mendengar kabar apapun. Baru pada Desember 2012, sekitar minggu kedua, saya dikabari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) bahwa nama saya terpilih sebagai salah satu calon anggota Dewan Pers, yang namanya akan diusulkan ke Presiden SBY.
Apakah karir Om Stanley di Dewan Pers, salah satunya terpengaruh pengalaman kala di Imbas?
Belum pernah memikirkannya. Tapi memang ketika lulus dari UKSW keinginan saya bekerja hanya tiga. Kalau tidak menjadi dosen, ya jadi wartawan, atau bekerja di Non-Government Organization (NGO). Dan ketiganya sudah pernah saya jalani.
Ada cerita lain. Di UKSW saya pernah jadi asisten dosen tiga mata kuliah selama lima tahun. Menjelang lulus 1988, sebetulnya saya berminat untuk ambil Program Pasca Sarjana (PPS) UKSW, tapi sudah ada tanda-tanda keributan. Apalagi, tahun 1997 saya dianggap menjadi salah satu biang kerok. Ya sudah, saya jadi peneliti atas permintaan Pak Arief Budiman selama setahun. Setelahnya, saya memilih bekerja sebagai wartawan majalah Jakarta-Jakarta, di bawah Kompas Gramedia Grup dari 1989-2001.
Andreas Harsono dalam majalah Scientiarum pada 2008, pernah bilang, “Saya ‘kuliah’ di Imbas, bukan di Elektro.” Kalau Om Stanley?
Kalau ‘kuliah’ saya ya di dunia aktivisme. Saya lebih banyak nongkrong dan berdiskusi dengan dosen di luar fakultas teknik, para seniman, serta aktivis dari kota-kota lain. Saya belajar dari kehidupan berorganisasi mahasiswa di kampus. Saya pernah duduk di Senat Mahasiswa Fakultas, Senat Mahasiswa Universitas, dan juga Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas maupun universitas. Saya juga ikut mendirikan organisasi pecinta alam. Di luar itu, dengan mengajar sebagai asisten dosen dan asisten praktikum, saya juga bisa menutupi biaya hidup maupun studi selama di Salatiga. Namun, pers tetap salah satu bidang yang saya minati. (Baca juga: Jas Merah Satya Wacana)
Kembali ke soal Dewan Pers, tantangan apa saja akan dihadapi saat mengampu pucukan lembaga pers di Indonesia?
Pertama, moghulisme media. Ada pengusaha media yang menguasai banyak media mulai dari cetak, radio, televisi dan daring (online). Hal ini berpotensi membuat terjadinya penyeragaman pemberitaan untuk kepentingan tertentu.
Kedua, adanya kecenderungan politikus untuk memiliki media atau sebaliknya, pimpinan media ingin jadi politikus. Hal ini akan menjadikan media menjadi terompet partai atau media pencitraan pemiliknya, sehingga tidak mengabdi untuk kepentingan publik.
Yang ketiga, masalah profesionalitas wartawan dan kualitas SDM. Saat ini ada ribuan wartawan di Indonesia. Yang telah lulus uji kompetensi baru 7.500 wartawan. Kebanyakan sisanya menjadi wartawan dengan cara learning by doing. Sedangkan, tidak semua media memberikan pelatihan kepada wartawan yang mereka rekrut, hanya media-media besar saja yang melakukannya. Hal ini belum lagi dengan munculnya fenomena wartawan abal-abal yang sama sekali tak mengerti Kode Etik Jurnalistik dan tak pernah mendapatkan pengetahuan jurnalistik. Indonesia memasuki MEA, menuntut kualitas SDM yang bisa bersaing dengan SDM asing. Kalau tidak, bukan tak mungkin media, terutama penyiaran, akan banyak menyerap SDM asing, akibat belum siapnya SDM wartawan di Indonesia.
Keempat adalah maraknya praktek “abal-abalisme”. Ada banyak media menggunakan nama KPK, Tipikor, BIN, dan nama-nama lain untuk menekan dan memeras pengusaha dan pejabat. Para wartawan media-media ini umumnya adalah para pencari kerja (job seekers) yang melihat profesi wartawan sebagai profesi jalan pintas untuk meraup rejeki. Praktek ini sebetulnya menodai profesi wartawan yang sesungguhnya adalah profesi terhormat.
Kelima, masih rendahnya gaji dan renumerasi wartawan. Ada banyak wartawan di daerah yang gajinya sangat rendah bahkan digaji di bawah standar UMP. Mereka ini lebih banyak mengandalkan amplop pemberian narasumber.
Terakhir, kemajuan teknologi yang niscaya akan mengubah landscape model pemberitaan dan media yang ada. Saat ini ada beberapa media yang gulung tikar karena tidak mampu menghadapi tantangan yang ada. Anak-anak muda sekarang menganggap media cetak seperti koran dan majalah adalah media jadul. Semua berita tersedia dan bisa diakses dengan menggunakan gawai (gadget). Tapi para pemilik media yang kebanyakan tak paham dengan teknologi mutakhir, masih berpikir seolah-olah di tahun 1970-an. Hal ini bisa dimaklumi karena pimpinan media umumnya adalah generasi tua yang hanya memahami media konvensional.
Persoalan media saat ini sangat terkait dengan infrastuktur telekomunikasi dan kemampuan SDM dalam penguasaan teknologi tinggi. Dalam beberapa tahun kita harus menyiapkan diri untuk memasuki era konvergensi media yang lebih bertulang punggung pada teknologi komunikasi yang supercepat.
Keenam persoalan di atas sudah umum. Lantas apa bedanya Dewan Pers era Bagir Manan dengan Om Stanley?
Secara umum tak ada yang berbeda karena Dewan Pers pemegang amanat UU no. 40/1999 yang visi misi dan tupoksinya (tugas, pokok, dan fungsi) jelas. Dewan Pers akan meneruskan pekerjaan sebelumnya yang belum selesai. Tapi Dewan Pers periode 2016-2019 akan berkonsentrasi untuk menjaga kemerdekaan pers dan independensi media yang lebih berorientasi pada kepentingan publik. Karena, periode 2016-2017 ini akan banyak momen politik dan jurnalisme rawan untuk diboncengi kepentingan bisnis dan politik.
Ada satu persoalan yang belum disebut. Kalau pers mahasiswa, Om?
Persma memang tidak termasuk sebagai media sebagaimana dimaksud dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Namun Dewan Pers menilai persma memiliki peran penting sebagai bagian dari kebebasan berekspresi yang harus dijamin negara. Dewan Pers akan selalu memberikan bantuan, terkait dengan peningkatan pengetahuan dan kapasitas persma. Bila ada penekanan tentunya Dewan Pers akan coba membantunya. Bagaimanapun, persma adalah salah satu sumber SDM yang baik bagi pers profesional.
Mengingat kasus Lentera Oktober 2015 dan beberapa pembredelan pers mahasiswa yang terjadi setelahnya, apa Dewan Pers punya agenda terkait perlindungan geliat pers mahasiswa?
Untuk kasus Lentera, kan Dewan Pers berkirim surat ke Rektor dan menanyakan masalah penekanan dan pelarangan terhadap Lentera. Saat majalah Didaktika yang merupakan persma UNJ diserang mahasiswa dan kemudian diancam rektor pada 2013, Dewan Pers memanggil para penyerang, pimpinan UNJ, dan pengelola Didaktika. Baru setelahnya, Dewan Pers melakukan mediasi.
Intinya adalah persma harus menggalang persatuan dan membentuk organisasi patung. PPMI harus bisa diberdayakan. Dulu Imbas di UKSW dan persma lain di kampus-kampus lain juga dapat tekanan semua, namun bersatu dan melawan. Kami saat itu tak mungkin mengadu, apalagi meminta dukungan dari Dewan Pers yang secara nyata merupakan rubber stamp penguasa, jadi memang harus melawan. Nah, Dewan Pers masa reformasi ini kan lain. Dewan Pers saat ini memberikan perhatian kepada persma. Dewan Pers punya MoU dengan Polri dan Kejagung. Tapi teman-teman persma tak boleh menjadi manja dan lupa bahwa perlawanan yang sejati itu adalah dari diri sendiri.
Wawancara ini pernah terbit lebih dulu pada 28 Maret 2016 di scientiarum.com dengan judul “Stanley Adi Pers-setyo dan ‘Kuliah’ Aktivisme.”
Scientiarum.com telah bermigrasi ke scientiarum.id.
Tinggalkan Balasan