Selain Lotek, Atien ‘Menjual’ Keramahan

Warung lotek Bu Atien. Foto oleh: Erwin Santoso

JAM 9 PAGI. Aktivitas Pedagang Kaki Lima (PKL) mulai terlihat di sepanjang trotoar jalan Diponegoro depan Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW). Di sana, beragam makanan dan minuman dijual. Salah satunya yang paling memikat hati saya, ialah Warung Lotek Bu Atien.

Saya sebagai mahasiswa pendatang dari Surabaya, tentunya akan susah menemukan pecel dan gado-gado yang notabene makanan khas Surabaya. Hanya saja, lotek terasa lebih manis ketimbang pecel, pun gado-gado.

Maka, saya pikir, lotek ialah tombo kangen.

Pagi itu saya sengaja menunggu Atien selesai menata warung. Setelah menata warung dan siap melayani pelanggan, saya disambut dengan senyum dan dipersilahkan duduk. Jika Atien belum begitu mengenal pelanggannya, ia pasti akan menawarkan opsi. Antara lotek lontong atau lotek nasi. Namun, jika ia menghadapi pelanggan yang tak asing baginya, ia tak perlu repot-repot menanyai pesanan pelanggan. Ia sudah hafal.

Dari rutinitas tersebut, Atien jelas mengutamakan keramahan dalam pelayanannya. Ia begitu pandai membuat pelanggannya betah dan menyukai loteknya. Saking membludaknya pelanggan, saya pernah tidak kebagian meja dan tempat duduk.

Wanita 45 tahun ini berjualan lotek di depan UKSW sedari 1998. Namun, warung lotek ini sempat dibredel pada 2007. Pada tahun tersebut, PKL sepanjang trotoar depan UKSW memang banyak membuat sampah, demikian terang Atien. Melihat kotoran-kotoran PKL yang tak terjamah itu, pemkot setempat segera melakukan penertiban.

PKL depan kampus mendapat surat larangan dari pemkot perihal kegiatan mereka. Kegiatan PKL sempat mati suri. Keputusan pemkot membuat PKL gelisah. Beberapa perwakilan PKL yang vokal, Atien salah satunya, menuntut hak mereka ke kantor Pemkot.

Inisiatif perwakilan PKL tersebut, sontak menggelitik Kris Herawan Timotius, Rektor UKSW yang tengah menjabat saat itu, untuk memperjuangkan hak PKL. “Jadi, pihak kampus membela rakyat kecil,” ujar Atien.

Atien melanjutkan, tindakan Rektor UKSW saat itu lantas membuat pemkot terenyuh. Akhirnya, pemkot memutuskan memberi kelonggaran bagi PKL di depan UKSW. PKL diizinkan kembali untuk berjualan, namun baru boleh mulai pasang tenda pukul 9 pagi.

Sebelum ada pelarangan tersebut, warung lotek bu Atien masih leluasa buka lapak sejak subuh. Tapi dengan keputusan tersebut, Atien serba terbatas hingga kini. Namun ia bertahan. Untuk mempertahankan roda usahanya, warung Atien pernah menerima bantuan peralatan dari PDIP dan PT. Djarum, seperti spanduk dan tiang-tiang tenda.

Warung lotek ini biasanya akan tutup tenda sekitar jam 2 siang. Jika ingin mencicipi lotek Atien ini, lebih baik datang sewaktu jam istirahat. Dan kini, saya menjadi pelanggan tetap warung lotek Atien. Karena dalam seminggu saya bisa 3-4 kali makan di warung lotek ini. Saat saya tanya apakah ada resep rahasia yang dipakai, “tidak ada,” katanya.

“Yang penting saya ramah sama pelanggan mas,” terang Atien.

Laporan jurnalistik ini pernah terbit lebih dulu pada 10 Juli 2014 di scientiarum.com, yang kini bermigrasi ke scientiarum.id.


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *