Semasa teka dan esde cukup sering saya bertanya-tanya, “Mengapa Tuhan menciptakan David sebagai adik saya?” Pertanyaan macam ini selalu muncul ketika saya usai bertengkar dengan David (entah apapun pemicunya), yang akhirnya diakhiri dengan leraian Mbak Siti. Pertengkaran bisa juga kami selesaikan sendiri, namun hampir semuanya saya akhiri dengan tangisan, sedangkan David memilih untuk diam atau menggoda saya agar menangis lebih kencang.
Dalam suatu obrolan keluarga besar, pernah ada yang nyeplos kalau David ini lebih cocok jadi kakak ketimbang adik. Jika benar demikian, maka urutannya begini: Anand-Evan-David-Arya, bukannya Anand-Evan-Arya-David. Yang mengatakan demikian beralasan: David punya badan yang lebih tinggi, pertumbuhan massa otot dan tulangnya lebih cepat, dilihat-lihat juga lebih gagah bak seorang perwira. Saya yang waktu itu masih cupu dan sontoloyo, mengambil semua ucapan itu dengan hati yang panas.
Kalau dipikir-pikir lagi, mungkin orang yang nyeplos begituan mengukur bahwa seorang kakak itu “wajib” punya segala yang “lebih” ketimbang adiknya, termasuk “lebih” di tataran fisik. Padahal tidak demikian.
Ada satu lagi yang saya ingat. Kalau sudah ada obrolan keluarga seperti itu, Bapak seringnya bicara positif sama saya. Bukannya Bapak mendukung saya agar menggenjot otot juga agar tak tersaingi David, tapi ia langsung menaruh jari telunjuknya berkali-kali di kepala: sebuah isyarat bahwa saya masih punya otak untuk dikembangkan. Tapi bukan berarti David lebih goblok daripada saya. Bukankah kita memang goblok dalam hal yang tak kita kuasai? Semua punya gobloknya masing-masing.
Beranjak SMP (dan David masih SD), pertengkaran akan hal-hal remeh (tapi nampaknya waktu itu penting sekali) masih sering terjadi. Semacam hobi “tak sadar” yang saya dan David geluti. Kalau saya ingat-ingat lagi, bentuk-bentuk pemicu pertengkaran kami biasanya karena dua alasan utama: David yang dasarnya memang jahil dan saya yang mudah sakit hati. Jika keduanya sudah bertemu dalam satu benci, meledaklah pertengkaran tak berarti.
Salah. Masa-masa itu, pertengkaran selalu saya anggap punya arti lebih dari sekadar pukul-pukulan. Barangsiapa yang menang, ia yang akan tersenyum gemilang (dalam hati). Tapi memang, dasarnya saya ini tak bisa mengungguli kekuatan fisik David, seringnya saya memang “kalah bertempur”, dan lagi-lagi berujung tetesan air dari ekor mata saya. Sejak saat itu, saya sadar kalau mengalah bisa meredam amarah. Tapi kalau mengalah yang tidak ikhlas, bisa memupuk dendam. Untungnya, saya tidak secuil pun dendam sama David. Pertengkaran hebat bisa terjadi ketika ada dua atau lebih energi yang sama-sama mendorong kuat menuju ke arah-arah yang berlawanan. Sederhananya seperti lagunya Broery: saya maunya begini, sedangkan David maunya begitu. Karena tak berkompromi dan masih getol pakai jalan sendiri, meledaklah pertengkaran yang punya arti. Sama saja…
Persaudaraan dalam rumah, memang tak bisa luput dari gegeran. Wajar. Manusiawi. Biar saya sudah SMA, David masih jahil dan saya pun kadang-kadang terpancing membalas. Beda ketika ada teman saya yang jahilnya lebih minta ampun ketimbang David, tapi saya bisa diam tak terpancing. Ya, rumah memang tempat kita menumpahkan segala kekanak-kanakan kita, bukan begitu?
Hanya saja pas SMA ini, intensitas bertengkar dengan David sudah tak begitu sering seperti masa SD. Ada satu pertengkaran keren antara kami, yang saya ingat. Posisinya waktu itu saya kelas 12 dan David kelas 10. Satu sekolah. Saya yang saat itu tergabung di OSIS sedang membuka pendaftaran bagi calon-calon baru untuk digembleng, sebelum akhirnya terpilih segelintir orang yang lolos seleksi. Dan David mengambil formulir pendaftaran.
Saya lupa tepatnya hari berapa, yang jelas waktu itu ada semacam forum “pengakuan dosa” bagi calon-calon baru. Entahlah, mungkin karena teman-teman OSIS saya pada tahu kalau David itu adik saya, lantas David diberi tekanan lebih ketimbang yang lainnya. Saya menduga, David kesal dan tak tahan dengan ocehan “orang tak dikenal” (wajar, Ibu saja yang sebegitu dekatnya kadang masih tak didengarkan David), ia akhirnya melepas tanda pengenal untuk seleksi, mengambil tas, lalu meninggalkan ruangan. Tahu David sedang tak kontrol emosi, saya mengejarnya sambil berharap agar David mau kembali dan melanjutkan seleksi hingga akhir.
“Vid, yakin?” sergah saya sembari David melangkah jauh menuju ke halaman depan sekolah.
David jalan cepat, tak menjawab apa-apa.
“Yakin?” sambil agak mengejar.
Ia masih jalan cepat dan saya memilih untuk tak memaksakan kehendak. Sejak saat itu, David tidak pernah melanjutkan seleksi.
Saya tak mengejarnya lagi dan terpaksa harus kembali ke kelas, berhadapan dengan teman-teman sebaya David yang juga calon-calon baru, yang mungkin dalam pikiran mereka kalau saya ini payah karena tak bisa mengembalikan David ke dalam kelas. Tapi harus diakui, kalau salah satu yang layak jadi pengurus OSIS yang baru adalah David. Bukan nepotisme, tapi mencoba menjadikan penilaian subyektif menjadi penilaian obyektif bagi orang lain. Jika dalam seleksi OSIS yang dicari ialah mereka yang punya “fisik kuat, mental hebat”, David sudah memenuhi keduanya. Hanya saja, mental hebat David ini yang kebanyakan disalahartikan “orang-orang tak dikenal”. Kalau saya pikir-pikir lagi, “fisik kuat, mental hebat” ini juga diperjelas lagi. Terutama bagian mental.
Mental ada dua bagian, mental patuh sama mental kritis. Mungkin selama ini yang ditekankan pada seleksi-seleksi OSIS yang sudah ada hanyalah mental patuh, bahwa dalam tekanan apapun, ia akan patuh. Meskipun ia tidak salah, ia tetap salah di mata (sok) senior. Apapun alasannya. Itu aturan yang berlaku pada seleksi OSIS SMA saya. Unsur dialogis-komunikatif dikesampingkan. Jadi, mungkin bisa ditarik kesimpulan kalau sistem yang dipakai adalah sistem kemiliteran. Sedangkan mental kritis tak sama dengan mental patuh. Mental kritis akan memposisikan semuanya sederajat, dialog-komunikatif perlu diutamakan, dan ini kepercayaan pribadi saya: David bermental kritis dalam ruangan yang menuntut mental patuh. Alhasil, (mungkin) dipandanglah David sebagai pemberontak oleh “orang-orang tak dikenal”.
Mengalah memang bisa meredam amarah. Saya tak tahu harus berbuat apa, selain memaafkan, waktu David memberi kabar kalau kamera saya yang dipinjamnya hilang tak tahu diambil orang. Saya cuma bisa mencecarnya dengan pertanyaan lalu menangis, ketika helm kesayangan saya yang dipinjam David juga pecah kelindas Panther.
Tulisan ini bukan semata-mata untuk menjelek-jelekkan David dan mengungkit-ungkit masa lalu, tapi lebih pada cerita bahwa saya sudah belajar banyak sama David. Bahwa esensi seorang kakak, bukan terletak pada segala “lebih” termasuk “lebih unggul” secara fisik atau apapun itu, melainkan karena saya merasa kurang mengenal seorang adik, maka itulah yang harus saya kejar. Yang saya rasakan ini ternyata senada dengan filem jadul “To Kill a Mocking Bird” yang di dalamnya, Atticus Finch, salah tokoh utama lagi menasehati anak gadisnya,”You never really understand a person, until you consider things from his point of view. Until you climb inside of his skin and walk around in it.”
Saya merasa beruntung karena pertengkaran antara saya dan David seringnya selesai dalam satu babak. Tak saling diam dan mengumpat dalam hati berhari-hari, membawa beban tak berwujud, menahun, dan kapan saja bisa meledak. Pertengkaran yang nyata lebih baik ketimbang api yang tersembunyi, bukan? Hihi.
Hari ini David berulang tahun. Saya kesusahan menunjukkan wujud kasih sayang lewat gerak tubuh atau ucapan secara langsung, karena jarak yang terpaut. Halah, andai berdekatan saja, jujur, saya canggung melakukan demikian ke David, kedua kakak, dan ke Bapak Ibu. Semuanya karena memang sedari kecil tidak dibiasakan begitu. Dan juga saya tidak ingin mengubah kecanggungan ini, karena positifnya, bisa melahirkan cara unik mengucapkan “selamat ulang tahun”: salah satunya lewat tulisan ini.
Jadi, selamat menjadi David yang se-David-Davidnya.
Salatiga, 17 Juni 2015
Tinggalkan Balasan