Satu Kata Untuk Surga Sungsang

Surga Sungsang

Minggu malam, 6 April 2014, saya berjalan cepat – disusul setengah lari – menuju sebuah hotel di jalan Kartini, Salatiga – Hotel Maya. Sejak menapakkan kaki di depan pintu masuk aula, saya sudah disambut dengan alunan musik gamelan Jawa. Ditambah dengan ornamen Jawa tradisional yang mencuri perhatian saya. Saya kian tertarik.

Setelah mengisi buku tamu dan menerima buku bersampul lukisan surealis, saya masuk ke dalam aula untuk mengikuti acara bedah buku.

Buku yang dimaksud ialah Surga Sungsang karya Triyanto Triwikromo. Buku yang terhitung kencur itu dibedah bersama.

Acara tidak serta merta dibuka dengan bedah buku saja, namun ada beberapa penampilan apik yang disuguhkan sedari awal. Seperti perpaduan antara tari kontemporer yang ditangani Tuti N. Roosdiono dengan tembang Jawa dari Widodo, cs. Keduanya menyatu menceritakan bab “Wali Kesebelas” pada novel Surga Sungsang.

Gunawan Tri Atmodjo, salah seorang penggemar sastra, mendapat kesempatan kencana untuk membedah buku Triyanto. Ia memaparkan struktur kesungsangan.

“Saya bukan kritikus ya,” Gunawan mewanti-wanti peserta bedah buku.

“Sungsang ini seperti buku kumpulan cerpen tapi dengan cerita yang terkait antara satu fragmen dengan fragmen yang lain,” papar Gunawan.

“Uniknya lagi, tiap bab dalam novel ini dapat berdiri sendiri dan dinikmati sebagai suatu cerita pendek,” imbuhnya.

Keempat belas bab dalam Surga Sungsang itu sejatinya cerpen-cerpen Triyanto, yang pernah terbit di Koran Tempo, Kompas, Jawa Pos, dan Jurnal Perempuan.

Menurut Gunawan, alur cerita Triyanto benar-benar membuat sungsang, alias terbalik. Pengemasan novel ini juga tergolong unik karena dapat dibaca dari bab mana saja. Tidak terpaku pada urutan halaman.

Pendapat Gunawan ini selidah dengan Joss Wibisono, jurnalis senior di Indonesia, dalam tulisannya ‘Mendengar’ Surga Sungsang. Tulisan itu ialah resensi novel pertamanya, dan langsung dimuat harian Suara Merdeka edisi 30 Maret 2014. Tujuh hari setelahnya, Salatiga kebagian kesempatan pertama untuk mengadakan bedah buku.

“Semua kisah yang ada di novel ini sesuai dengan kenyataan,” bocor Triyanto sendiri. Ia melanjutkan, “kenyataan sosial kita itu tercerai-berai, kompleks!” tegasnya.

Sesuai dengan peristiwa yang terjadi di Tanjung Kluwung, setting Surga Sungsang, Triyanto mengambil latar cerita yang akrab dengan islami dan adat Jawa yang kental. Tak ketinggalan atmosfer alam bakau juga ia padukan. Semua sesuai dengan peristiwa.

Hanya saja, nama-nama tempat dan tokoh dalam Surga Sungsang, telah Triyanto kaburkan. Semisal saja tokoh paling berpengaruh dalam novel ini, Syekh Muso, semestinya bernama Syekh Abdullah Muzakhir. Lalu, Kiai Siti, juru kunci makam Syekh Muso, juga aslinya bernama Kiai Fauzan.

Bahkan Tambaksari (terletak di antara Demak dan Semarang) pun, disamarkan menjadi Tanjung Kluwung. Memang benar-benar sungsang.

Saya sontak kagum dengan novel pertama redaktur pelaksana harian umum Suara Merdeka ini, karena seluruh cerita dalam Surga Sungsang, sungguh mengamalkan judulnya. Isinya sungsang, alurnya sungsang.

“Inti dari novel ini sebenarnya pergolakan antara Syekh Bintoro dengan Syekh Muso, antara syariat dengan makrifat, formalitas dengan luwes,” tutur Triyanto ketika saya tanya mengapa bab “Wali Kesebelas” ditembangkan dan ditarikan, bukan bab lainnya.

Pada penghujung bedah buku, ada satu pertanyaan yang memekakkan telinga saya, “saya mau tahu, apa tujuan pak Triyanto menamai buku ini dengan nama Surga Sungsang?” tanya salah seorang peserta bedah buku.

Triyanto menjawab singkat dan membuat si penanya skak mat. Pembaca bebas tafsir, baik secara induktif maupun harfiah, ia hanya bertugas menulis bukunya, demikian terang pria kelahiran Pungkursari, Salatiga.

Triyanto lebih memilih membuat si penanya kecewa karena tak dijawab gamblang.

Novel ini, bagi saya, menyimpan keunikan lainnya. Lukisan-lukisan surealis karya Jumaadi, pelukis asal Sidoarjo yang kini bermukim di Sydney, Australia, juga tergurat pada beberapa halaman Surga Sungsang.

Pengalaman Triyanto hidup tiga tahun akrab dengan Tambaksari, ia kisahkan menjadi potongan-potongan cerita dari aneka perspektif. Dikemas dengan kreatif dan provokatif. Membaca Surga Sungsang dengan beragam cara pun tetap membuat pembacanya, kalau tidak jempalitan, ya, pergi karena tak tahan dengan pola pikir dan penulisan Triyanto: kontras.

Pola kontras dalam Surga Sungsang ini, memudahkan pembaca menilik ulang realita kehidupan, sehingga nantinya dapat menentukan sikap. Triyanto membebaskan pembaca. Untuk Surga Sungsang, saya mencomot larik Wiji Thukul.

Hanya ada satu kata: kontras!

Laporan jurnalistik ini adalah tugas akhir untuk kelas Bahasa Jurnalistik yang diampu Joss Wibisono.


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *