If you leave here, you
dari “Bushel Hyde” (2012) – Jessica Pratt
Had better know
Which way you had better go
Because you know which way the spirit goes
Ini Kombang, salah satu anjing kesayangan. Sudah menghuni rumah di Salatiga sejak akhir 2017. Waktu pertama datang umurnya baru tiga bulan.
Sehari-hari, Kombang muda lebih sering main di halaman belakang rumah. Menemani Bapak dan tukang-tukang ngopi (secara harfiah, ngopi bagi Kombang adalah mengunyah biji kopi), berburu sigung dan tupai yang mampir di kebun kami, hingga bermain lompat tinggi dan kejar sapu.
Semasa itu, tanah lapang, timbunan material bangunan yang hidup berjejalan dengan pohon-pohon buah yang lebih dulu hidup di sana, menjadi rimba satu-satunya bagi Kombang.
Sekira menginjak usia tujuh bulan, Kombang mulai kenal dunia di balik pagar halaman. Barangkali instingnya mulai matang dan percikan rasa penasarannya telah jadi api unggun, sehingga melalui celah-celah pagar kawat berduri yang compang-camping, ia melanglang.
Pertama kali Kombang lepas, Bapak panik. Diajaknya seorang tetangga untuk berbagi kepanikan, lalu mereka mencari Kombang di area perkebunan warga di balik pagar halaman.
Amat susah mencarinya di sana. Makin masuk ke dalam, rerumputan makin rungkut mengungguli tinggi deretan tanaman singkong. Dipanggil-panggil namanya, namun Kombang tak kunjung datang. Tak seperti biasanya.
Angin mengembus, awan berarak. Dari sana, angin turun kepada para ilalang. Ia kemudian membisiki agar mereka saling bergesekan, sehingga timbul melodi yang menyayat, mengundang harap dan gelisah. Apabila mau digubah suatu rangkaian lirik dari melodi para ilalang itu, kira-kira begini isinya:
Semoga, dari punggung ilalang yang rungkut-rungkut itu
akan terdengar derap langkah kecil yang mendekat
yang datangnya memang dari kaki yang mungil
Sehingga aku tak perlu bertabah,
karena bertabah adalah suatu pekerjaan yang sukar
Namun kusadari, aku hanya berdiri di sini
sedang aku membiarkan lamunan dan kecemasan membawaku
ke mana-mana sekaligus tidak ke mana pun
Ke manakah kau pergi?
Ke mana aku harus pergi, mencari?
Kombangku, apakah kau akan cukup mujur
untuk mengenal pulang dan rumah?
Dua penggalan paragraf di atas tentu hanya imajinasi saya saat Bapak memberi kabar. Sial, saya kecipratan cemas. Bapak dan tetangganya menunggu sampai sore, namun tak kunjung ada tanda-tanda yang mengenakkan hati. Mereka mentok dan pasrah.
Barangkali belum jatahnya pelihara anjing, kata Bapak menelpon saya. Selepas telpon, suasana hati saya meredup.
Kepingan kenangan pada sekira 2005-2006 terpental ke permukaan. Itulah masa di mana saya pertama kali punya anjing peliharaan: Roy dan Brino. Sialnya, baru enam bulan pelihara, kami sekeluarga sudah harus pindah rumah kontrakan. Saya kurang suka dengan perubahan besar yang bertubi-tubi.
Saya bilang bertubi-tubi setidaknya karena dua hal. Pertama, sudah jelas bahwa saya sudah bonding dengan Roy dan Brino. Itu kali pertama saya punya anjing. Pengalaman pertama biasanya susah dilupakan, apalagi kalau punya kesan yang intim. Kedua, Bapak dan Ibuk memutuskan agar Roy dan Brino tidak diboyong ke kontrakan baru, melainkan diberikan ke tetangga seberang rumah. Bagi saya waktu itu, kata “diberikan” terlalu halus dan murah hati, sedangkan kenyataannya kami dipisahkan dan anjing-anjing itu dicampakkan.
Saya juga masih ingat alasan yang terucap oleh Bapak dan Ibuk: di lingkungan yang baru akan lebih susah pelihara anjing. Rumahnya lebih kecil dan lingkungannya kurang ramah anjing. Saya mengerti apa maksudnya “lingkungan kurang ramah anjing.” Tapi waktu itu saya tetap tidak habis pikir, mengapa sebagian masyarakat kita begitu mudah membenci hewan selucu anjing, sedangkan kucing tidak?
Saya menyampaikan keberatan dengan menangis. Tak ada satu kata pun yang terpeleset. Saya terpaksa rela untuk melepas Roy dan Brino.
Meski terpaksa, tapi toh, sakit hati itu juga tak menggerakan hati saya untuk merebut mereka kembali. Saya juga tak pernah mengusahakan sowan ke tetangga yang mengadopsi Roy dan Brino. Barangkali saya juga tidak peduli amat. Saya tak terlalu ingat. Barangkali.
Hari sudah gelap. Matahari kira-kira sudah terbit di belahan lain lebih dari lima menit yang lalu, dan Kombang muda baru pulang. Ia kaing-kaing di balik pagar kebun belakang, sebuah syarat mengais iba dibukakan jalan.
Air mukanya begitu senang, seolah ia punya banyak cerita untuk dibagikan. Seiring dengan itu, jelas terlihat bahwa ia teramat lelah dan haus. Setelah pagar dibuka, Kombang tak kunjung melompat masuk ke halaman. Kaing-kaingnya makin menjadi-jadi. Ternyata minta digendong.
Kecemasan saya seperti daun rontok saat dapat kabar bahwa Kombang pulang dengan selamat. Matahari yang ternyata tenggelam di sana, ternyata terbit di cakrawala hati saya. Dari jauh, saya kirimkan doa agar nasib baik dan keselamatan senantiasa menyertainya.
Sejak saat itu, Kombang muda sering memanfaatkan ‘kelengahan’ orang rumah. Kalau pas main di halaman, terus Kombang muda lepas dari pandangan kami, wah, sudah niscaya ucul dolan mbuh ke mana.
Pelan-pelan kami jadi hafal titik mana saja yang mungkin dikunjungi Kombang: lapangan bola, perumahan sebelah Barat, Selatan, bahkan kandang ayam tetangga di sebelah Utara dengan sesekali memboyong pulang bangkai ayam dan juga yang masih hidup. Alamak.
Di kisaran tempat-tempat itu, kami akan datang menjemput naik sepeda motor. Sudah seperti menjemput bocah yang belum pulang meski hari sudah maghrib.
Sekarang umur Kombang jalan tujuh tahun. Sudah sangat jarang ucul. Selain karena pagar sudah dipugar, kami sudah lebih berpengalaman, sehingga tak mudah baginya melesap, mungkin juga, Kombang tak lagi kesepian karena sudah punya kawanan: Meli, Lembu dan Keling.
Libur Lebaran sebentar lagi usai. Catatan pendek ini saya bikin dalam rangka mengungsikan rasa kangen saya kepada Kombang dkk, karena tidak bisa pulang ke Salatiga musim ini. Semoga terungsikan.
Tinggalkan Balasan