Jejak Teddy Sulistio Pada Pemberedelan Lentera

Menyoal pemberedelan majalah Lentera, beberapa minggu ini UKSW masih disebut-sebut dalam ragam pemberitaan media. Tetapi, nampaknya perusahaan media secara tak sengaja, ‘sepakat melokalisir’ isu regional ini menjadi isu kampus saja. Kalau kata Bima Satria Putra, Pemimpin Redaksi Lentera, isu ini seolah-olah hanya persoalan antara ayah (Rektorat dan Dekan UKSW) dengan anak (Lentera). Dan tentu bisa disimak bahwa ‘hujatan’ media melulu dilontarkan kepada Daru Purnomo, Dekan Fiskom UKSW, dan Polres Salatiga. Seolah-olah tidak ada aktor lain.

Kendati demikian, Scientiarum (SA) memulai penelusurannya lewat pemberitaan Tempo.co soal Lentera sedari 18 Oktober, hingga majalah Tempo edisi 26 Oktober-1 November. 19 Oktober, Tempo.co merilis berita yang mengabarkan bahwa 16 Oktober malam—setelah pertemuan Rektor UKSW dengan beberapa pentolan Lentera—ada juga pertemuan antara Rektorat UKSW dengan Forum Komunikasi dan Musyawarah Pimpinan Daerah. Dari Forkompinda hadir Wali Kota Salatiga, Ketua DPRD Kota Salatiga, Dandim Diponegoro 0714 Salatiga, dan Kapolres Salatiga. Lentera dibahas. Demikian beritanya.

Saking kuatnya arus informasi soal pemberedelan Lentera, Tempo edisi terbaru ini juga menyisipkan berita berjudul “Bredel dari Kampus Salatiga” (halaman 34) dan “Marah Disebut Kota Merah” (halaman 110) dalam majalahnya. Rektorat UKSW lagi-lagi disebut melakukan pertemuan dengan Forkompinda. Kali ini lebih detil. Pertemuan itu digelar di Kediaman Yuliyanto.

Berita di bawah ini adalah salah satu dari liputan serial SA terkait jejak Forkompinda dan Rektorat UKSW pada pemberedelan Lentera.

***

Sore 27 Oktober, SA mendapat pesan seluler dari Teddy Sulistio, Ketua DPRD Kota Salatiga. Isinya jelas: Bisanya diwawancara sekarang. Setelah mendapat pesan persetujuan tersebut, SA langsung menemui Teddy Sulistio, Ketua DPRD Kota Salatiga, di Kantor DPC PDI-P Salatiga. Teddy yang waktu itu mengenakan kaos hitam, langsung menjabat tangan dan menggiring SA ke salah satu ruangan. Dalam ruangan itu ada dua pasang kursi empuk berwarna hitam dengan satu meja setinggi tulang kering orang dewasa, yang berada di tengahnya.

Di meja tersebut ada satu ornamen kecil. Setelah diperhatikan, ternyata ornamen banteng hitam khas PDI-P. Bila menilik dindingnya, terpajang bingkai berisi foto Megawati disandingkan dengan Bung Karno.

Ketika hendak menyatakan maksud wawancara, sembari menyodorkan majalah Tempo yang mengulas Lentera, Teddy meminta dibacakan saja bagian berita yang ingin dikonfirmasi dari padanya.

Soal pertemuan Forkompinda dengan Rektorat UKSW, Teddy mengatakan bahwa pertemuan itu untuk membicarakan soal kondusifitas Salatiga.

Ketika ditanya soal siapa yang menggagas pertemuan jelang tengah malam tersebut, Teddy malah balik bertanya, “Anda cinta Satya Wacana?”

Akrab di publik dengan sebutan Bung Teddy. | Sumber: Harian Semarang
Akrab di publik dengan sebutan Bung Teddy. | Sumber: Harian Semarang

“Cinta.”

“Stop polemik,” ucap Teddy sambil menatap tajam. Lagi, “Anda cinta Salatiga?”

“Cinta.”

“Stop polemik. Atas nama rakyat yang hidupnya masih menderita, stop polemik,” kali ini dengan nada rendah.

“Apa artinya stop polemik?”

Dengan nada meninggi, Teddy mengatakan bahwa tidak ada untungnya berdebat kusir soal pemberedelan Lentera di media, kalau hasilnya hanyalah perpecahan. Frasa “stop polemik” terucap lagi sebagai wanti-wanti.

“Ini nggak main-main lho mas,” wanti-wanti Teddy.

“Ya, memang.”

“Jangan dibuat main-main. Makanya, satu-satunya cara: stop polemik,” tegas Teddy.

Ketika diungkit kembali siapa yang menggagas pertemuan tersebut, Teddy mengucapkan bahwa pertemuan dengan Forkompinda itu adalah pertemuan yang sifatnya situasional. Tidak ada yang menggagas secara spesifik. “Pertemuan dengan Forkompinda itu adalah pertemuan yang biasa, bukan hal yang luar biasa,” ujar Teddy.

Soal majalah Lentera, Teddy tak mau ambil pusing terkait kasus pemberedelannya karena bukan termasuk tupoksi (tugas pokok fungsi—red) DPRD Kota Salatiga. “Sudah ada yang ngurusin,” pungkas Teddy, diikuti penyebutan bahwa ini adalah tugas Komnas HAM.

Pertanyaan dari SA mengarah lagi kepada konten majalah Tempo, yang meyinggung pertemuan Forkompinda dengan Rektorat UKSW. “Yang dibicarakan antara Muspida (Forkompinda—red) dengan Rektorat UKSW itu apa saja?”

“Banyak to ya,”

“Salah satunya?”

“Banyak. Ya bicara tentang Salatiga, bicara tentang agenda Satya, bicara tentang kampus baru, bicara tentang pendidikan,” ujar Teddy.

“Berarti benar yang diberitakan Tempo, kalau memang ada pertemuan dengan Rektorat UKSW yang membahas soal penarikan majalah Lentera?”

“Saya kira tidak sepenuhnya benar ya. Karena yang dibicarakan tidak hanya itu (majalah Lentera—red),” diikuti kekehan khas Teddy.

Teddy Sulistio dan Yuliyanto saat latihan menembak pada 16 Juni 2015. | Dokumentasi fajar.co.id
Teddy Sulistio (kiri, berkacamata hitam) dan Yuliyanto (tengah) saat latihan menembak pada 16 Juni 2015. | Dokumentasi fajar.co.id

Beberapa saat setelah terkekeh, Teddy membenarkan kalau memang ada pertemuan itu, dengan salah satu agenda pembahasan soal majalah Lentera. Akan tetapi menurut Teddy, pembahasan Lentera bukanlah yang utama. “Jadi jangan didramatisir seolah-olah Salatiga siaga satu,” tukas Teddy.

Secara pribadi, Teddy menyayangkan majalah Lentera ini diperjualbelikan di luar kampus. “Ini diperjualbelikan dan dikonsumsi masyarakat dengan berbagai macam strata dan kemampuan analisis itu lho,” ujar Teddy diikuti kekehannya, “Coba bayangin.”

Teddy mengaku tidak mau ambil pusing dan tidak mempunyai ketertarikan akan majalah Lentera, lantaran baginya, masih ada masalah substansial lainnya yang perlu diurus. Lalu ia menyodorkan satu kartu nama bertuliskan: Pradjarta Dirjosanjoto, pendiri Persemaian Cinta Kemanusiaan (Percik), dan satu bendel berkas soal pengajuan pendirian gereja yang tidak disetujui RW setempat. “Banyak hal yang harus kami selesaikan, ketimbang mengurus urusan-urusan abstrak seperti itu (pemberedelan Lentera—red),” ujar Teddy.

Lebih lanjut, Teddy juga menepis bahwa ada pertemuan antara Rektorat UKSW dengan Forkompinda Kota Salatiga, sebelum pertemuan John Titaley dengan beberapa pengurus Lentera pada malam 16 Oktober. Menurut keterangan Teddy, pertemuan Rektorat UKSW dengan Forkompinda digelar baru setelah John bertemu dengan awak Lentera.

Tetiba itu, nada Teddy meninggi lagi dan mengucap, “Lawan itu sedang mencari-cari celah untuk menghabisi. Maka menari-narilah di genderang yang kita tabuh, jangan menari-nari di genderang yang tidak kita tabuh. Apalagi kalau mereka siap menghanguskan rumah kita. Satya itu rumah. Rumah besar.”

Sesaat setelah mengatakan penggalan analogi tersebut, Teddy mengaku bahwa dirinya menaruh kekhawatiran pada respon pihak oposisi terhadap “Salatiga Kota Merah”. “Karena memang kebebasan pers, lalu penggalian luka lama pada sejarah, tidak ada kepentingannya dengan saya. Tetapi lawan? Anda bisa bayangkan orang yang tidak senang dengan Satya Wacana? UKSW itu simbol ke-Kristen-an,” tukasnya.

Teddy lalu berandai kemungkinan paling buruk yang akan menimpa Satya Wacana. “Kae lho deloken Satya Wacana sing wis dadi PKI.”

Laporan jurnalistik ini pernah terbit lebih dulu pada 2 November 2015 di scientiarum.com, yang kini bermigrasi ke scientiarum.id.


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *