Mencatat kepingan-kepingan kenangan masa kecil #1
I, I can remember
Standing, by the wall
And the guns, shot above our heads
And we kissed, as though nothing could fall
And the shame, was on the other side
Oh, we can beat them, forever and ever
Then we could be heroes, just for one day
“Heroes” – David Bowie
Bagiku, berada di luar kelas selalu lebih menyenangkan, entah itu sekadar pelajaran olahraga, cangkruk di pinggir lapangan saat jam istirahat, atau bermain dan berlarian sembari menunggu jemputan Pak Man tukang becak langganan. Semua yang menyenangkan terasa lebih cepat.
Kebalikannya, di dalam kelas justru waktu terasa melambat dan kepala lebih berat. Apalagi pas pelajaran matematika. Salah tiga hiburanku yang paling berarti di kelas cuma ngobrol anime basket Slam Dunk dengan Yehezkiel, Dito dan Vincent, membahas Theocracy — game strategi perang bangsa Aztec melawan invasi Cortés— bersama Agung, atau menyimak obrolan anak-anak keren, sambil sesekali melucu caper di depan Sharon.
Pagi itu Bu Maria mengumumkan bahwa minggu depan kelas kami, kelas 4A, kebagian jatah pelajaran praktek matematika di luar sekolah bersama beberapa kelas lain. Luar sekolah! Bukan lagi di luar kelas. Uh, senangnya hatiku, meskipun mata pelajarannya matematika.
Praktek kali ini kami akan mengunjungi sebuah pasar swalayan berjarak 1,5 km dari sekolah kami. Di sana kami harus belajar pembulatan harga (meski aku sudah belajar dikit-dikit bagaimana pembulatan tarif di wartel milik Bapak), lalu bagaimana caranya belanja di supermarket (meski bedanya tipis dengan belanja di warung dekat rumah), dan menimbang harga belanjaan dengan uang yang kami bawa. Kata Bu Maria, kami tidak harus belanja. Bagi yang belanja, nota pembelian harus disimpan untuk laporan di kelas. Bagi yang tidak, cukup laporan harga semula dari beberapa barang beserta pembulatannya. Kalau tidak salah, Bu Maria juga tidak memberi batasan uang yang kami bawa. Semampunya. Semampu orang tuanya ding.
“Jadi siapa yang orang tuanya bisa meminjamkan mobilnya?” tanya Bu Maria, sambil melobi beberapa anak yang sudah pasti bersedia.
Sekolah ini punya kebiasaan meminta bantuan akomodasi orang tua murid untuk kegiatan yang serba ekstra biaya. Apalagi kalau kegiatannya di luar sekolah. Makanya, sejak film Crazy Rich Asians rilis 2018 dan viral guyonan crazy rich Surabayan, aku nggak heran. Di sekolahku dulu sudah biasa. Aku sampai hafal orang tua murid mana saja yang sudah pasti urun tangan kalau pas ada kegiatan macam begini.
Sejenak setelah pengumuman, kelas menjadi riuh. Semuanya tampak bersemangat, termasuk Lisa, anak yang biasanya terlihat sedih, lesu, lunglai dan pelanggan tetap UKS karena sering pingsan. Hingar bingar rencana membeli ini itu sudah memekakkan telingaku. Aku sendiri tak punya rencana, meski bayangan macem-macem jajanan sudah melintas.
Sepulang sekolah kuceritakan semuanya ke Ibuk. Dia mengiyakan dan berjanji akan nyangoni duit, pagi sebelum berangkat sekolah. Jumlahnya? Misterius.
.
Hari itu telah tiba. Pagi sebelum berangkat sekolah, aku menagih janji Ibuk. Aku cukup kaget karena disangoni 10 ribu. Jumlah yang nggak sedikit buat bocah SD, tapi juga bukan jumlah yang banyak buat dibelanjakan di supermarket.
Dalam perjalanan ke sekolah, bukannya melayangkan pikiran ke supermarket dan segala isinya, aku malah berencana jajan di kantin dan sukur-sukur bisa jajan lagi di luar sekolah. Alasannya sederhana, perutku bisa lebih makmur kalau jajan murah tapi banyak.
Beberapa saat sebelum keberangkatan, aku bisa merasakan semuanya benar-benar lebih bersemangat.
“Aku nanti mau beli es grem!” teriak seorang teman.
“Aku nanti mau beli Hot Wheels!” timpal seorang lainnya.
Sebentar kemudian topiknya bergeser menjadi jumlah uang yang dibawa.
“Aku bawa 10 ribu,” kata seseorang.
“Aku bawa 25 ribu,” timpal seseorang lainnya. Ajang timpal-menimpal jumlah uang yang dibawa—mirip pelelangan—bisa tembus angka 50 ribu. 50 ribu buat anak SD?!
Aku jadi lumayan ciut dan malu karena duitku cuma 10 ribu. Sebuah perasaan yang tak kumengerti saat itu. Sungguh aneh tapi nyata. Meski tanpa rencana pasti dan sedikit malu, aku tetap tidak ketinggalan bersemangat.
Pagi sekitar pukul 10 kami berangkat.
Kudongakkan kepala ke atas ketika mobil yang kutumpangi hendak masuk ke halaman parkir. Kutemui plang besar bertuliskan: HERO.
Pagi itu kami krucil-krucil berseragam putih merah berlarian menyerbu Hero. Di dekat pintu masuk utama, beberapa temanku langsung menyambar keranjang belanja. Entah mereka mau beli berapa banyak barang, kok sampai butuh keranjang segala.
Aku sengaja tidak mengambilnya. Selain karena tidak ada rencana pasti mau belanja apa, bagiku momen jalan-jalan seperti ini yang harus lebih dinikmati ketimbang riweuh mikirin belanja. Ya meskipun jajanan dan mainan di sana sungguh menggoda.
Bu Maria mengingatkan agar kami tidak lupa mencatat harga-harga barang dan melakukan pembulatan. Sambil jalan-jalan, aku sengaja ngintil beberapa temanku yang lebih rajin dan pintar di matematika, seperti Dito dan Vincent.
Saat aku masih catat-mencatat, beberapa temanku yang tadinya mengambil keranjang belanja, kini petantang pententeng menuju kasir dengan keranjang yang sudah ada isinya. Neko-neko. Macem-macem. Rame rasanya. Beberapa orang tua juga terlihat mendampingi mereka. Dan lagi-lagi orangnya ya itu-itu aja. Tepat seperti yang kuingat.
Selesai mencatat, kususuri deretan rak di Hero dan kuteliti ragam harganya. Uang 10 ribu yang semula terasa sedikit, jadi beringsut sedikit. Saat itu aku harus menimbang beberapa hal: pertama, uangku cuma 10 ribu; kedua, aku juga pengen jajan enak di Hero biar kayak orang-orang; ketiga, aku kepingin uangku sisa dan cukup buat jajan di kantin pas jam istirahat; keempat, tiba-tiba aku juga pengen beli mainan; kelima, aku kepingin nabung untuk masa depan, tapi bo’ong.
Keputusan pertama yang kuambil adalah menggugurkan keinginan beli mainan. Jelas bagiku itu cuma angin lewat, setelah mengetahui seorang teman benar-benar memboyong Hot Wheels. Apalagi uangku cuma 10 ribu. Mana cukup buat Hot Wheels? Paling mentok dapat mainan yang terlampau murahan.
Kuputuskan untuk meniti lagi rak-rak makanan dan minuman ringan. Lagi-lagi, yang terpenting aku bisa jajan di Hero dan sisanya bisa kupakai jajan siang nanti.
Kutiti satu-satu, bolak-balik, mondar-mandir, sambil mendengar sayup ceriwis teman-temanku yang mengantri di kasir, riuh orang berbelanja, promo-promo dan musik dari pengeras suara.
Seketika kudengar suara Bu Maria, “Ayo yang belum selesai, segera diselesaikan ya! Sebentar lagi kita kembali ke sekolah!”
Aku harus beli apa?
Secara acak akhirnya aku berhenti di satu rak yang isinya tersusun rapi nata de coco merk Kara kemasan 1 kg. Di kemasannya tertulis “Pas untuk 5 gelas!” Sekelebat aku membayangkan orang-orang rumah: Bapak, Ibuk, mas-mas, dan adik. Pas 5 orang! Kulihat label harganya, pas 10 ribu!
Aku mengantri di kasir. Bu Maria ada di situ, memantau.
“Kamu beli apa?” tanyanya.
“Nata de coco. Buat sekeluarga,” jawabku mantap.
Bu Maria tersenyum. Aku pun.
.
Kami tiba di sekolah beberapa menit sebelum bel istirahat. Belanjaan jadi obrolan. Teman-temanku bersemangat bertukar cerita, sambil membagi-bagi camilan macam Chiki, Cheetos, Jet Z, Hollanda dan Taro. Aku turut menyimak, sambil ngemil belanjaan mereka.
“Kamu beli apa tadi?” tanya seorang teman padaku.
“Beli ini,” sambil kusodorkan sekilo nata de coco dari dalam tas, “buat dimakan sekeluarga,” jawabku mantap, lagi.
Belanjaan kukembalikan ke dalam tas.
.
Ibuk pulang kerja. Belanjaan kuserahkan kepadanya. Nata de coco kuberi, senyum kuterima. Kupercayakan Ibuk untuk membagi.
Sore itu kami sekeluarga menyantap es nata de coco. Hari itu, rasanya seperti menjadi hero.
Tinggalkan Balasan