Gempa Rasanya

Siang itu aku diajaknya keliling kota yang tak pernah kukenali. Kami naik mobil mengitari sebuah persimpangan yang luas dan lebih terang daripada siang hari. Tidak ada pohon di kanan kiri jalan. Lalu lintas lumayan tenang dan sepi.

Saat mengitari sebuah tugu kecil di tengah, kami melewati beberapa pilihan belokan, lalu secara acak berbelok ke salah satunya. Tidak sempat kucari penunjuk arah yang jelas, kutanya Bapak, katanya, aku mau diajak main ke sebuah museum gula.

Sesampainya di gerbang utama, aku dan Bapak, berjalan kaki menyusuri jalan setapak sepanjang kali, menuju pintu masuk museum. Dari jauh sudah kelihatan bahwa museum itu ramai. Arus keluar-masuk pengunjung cukup padat untuk jalan setapak.

Orang-orang keluar masuk cuma untuk menonton bagaimana mesin-mesin antik melakukan proses penggilingan tebu menjadi nira, kemudian dimurnikan dari residunya, lalu masuk ke loyang berukuran jumbo untuk penguapan, hingga pengkristalan menjadi gula pasir. Semua itu berjalan secara otomatis. Tidak ada pekerja di dalam museum, selain mesin antik dan pengunjung.

Setelahnya, aku diajak Bapak ke sebuah hotel. Aku tanya hotel apa namanya, Bapak jawab: “tanpa nama.” Aku minta penjelasan hotelnya seperti apa, Bapak cuma bilang: “rasanya kayak di rumah.” Aku diam. Semua jawabannya tidak memuaskan. Tapi aku juga tidak dapat memastikan apakah aku akan puas ketika mendapat jawaban yang detil dan kusangka-sangka akan memuaskan?

Di perjalanan menuju hotel, aku cerita keinginanku belajar nyetir mobil. “Arek-arek wes lancar nyetir. Aku yo pengen.”

Bapak cuma senyum. Lalu meminggirkan mobil kami ke bahu jalan, berhenti sebentar. Pasang rem tangan. Lalu Bapak minta tukar posisi. Aku diminta buat pegang kemudi. Mendadak disuruh nyetir.

Tanpa babibu, aku langsung ambil kemudi. Lepas rem tangan. Gas. Nyetir. Tersendat dikit. Lancar. Tenang. Sempet bingung beberapa detik, tapi tenang lagi. Wuih.

Sesampainya di hotel, ternyata Ibuk sudah berdiri menunggu di teras hotel dekat meja resepsionis. Bapak dan Ibuk langsung duduk di salah satu sofa, lalu Ibuk bilang, “Arek-arek lagi tidur di kamar.”

Aku diam. Tidak merespon apa-apa. Bagiku tidak ada yang harus direspon dari kabar itu. Aku mendadak kebingungan dan merasa ada yang aneh. Di saat yang bersamaan, Bapak pesen kopi dan pisang goreng kepada salah satu pegawai hotel.

Perasaan aneh yang tiba-tiba muncul itu coba kuceritakan ke Ibuk.

“Buk, perasaan kemarin aku barusan cerita ke temen kalo Bapak uwis meninggal dari tahun lalu, kok saiki Bapak onok maneh? Aneh,” tanyaku, diiringi pegawai hotel mengantar pesenannya Bapak.

Ibuk menyimak, datar, tapi tidak menjawab. Malah Bapak yang jawab. Bapak sambil makan pisang goreng, bilang: “Besok-besok kamu bakal lebih ngerti, Ya. Yang disangka mati, pergi, dan hilang itu ternyata cuma jasadnya aja. Kehidupannya abadi. Bapak masih di sini.”

Gelas kopi diangkat. Disruput. Diletakkan di atas meja lagi.

Hatiku yang linglung dan meranggas dengan mudah terbakar oleh jawaban Bapak. Dadaku rasanya sesak menyadari bahwa keliling kota, museum gula, mobil, dan hotel – itu semua mimpi. Aku mulai terisak menangis, dadaku pecah, karena menyadari jika aku sadar tengah bermimpi, biasanya sebentar lagi aku akan terbangun – aku dan Bapak akan berpisah lagi.

Di dalam mimpi itu, waktuku ngobrol dengan Bapak tersisa sedikit. Aku tidak tahu pastinya seberapa lama, tapi rasanya sangat sedikit.

Di rentangan waktu yang sangat singkat itu, kusempatkan dengan bercerita ke Bapak tentang tetangga di perumahan, yang akhir-akhir ini mengeluhkan cara hidup rumah tangga keluarga kami.

Kuceritakan ke Bapak kalo beberapa tetangga keberatan dengan aktivitas malam kami, keberadaan anjing-anjing kami, dan teman-teman kami yang lumayan sering bertamu malam-malam. Tidak kusebut tetangga yang mana, karena kubatin Bapak pasti tahu.

Bapak menjawab, “Namanya tetangga yo gitu. Macem-macem orangnya. Yang penting kamu sudah mencoba menyeimbangkan keadaanmu. Diladeni sebisanya dengan santai dan enjoy wae. Lagipula kamu kan hidup bukan untuk mereka. Dimaafkan wae.”

Aku tidak mengerti maksud Bapak bicara seperti itu. Dadaku masih sesak, kepalaku menghangat, tangisku makin menjadi-jadi, saat melihat Bapak digiring beberapa orang keluar dari hotel.

Di siang yang terik itu aku terbangun, menangis. Kubenamkan sekujur tubuhku ke kasur, muka ke bantal. Gempa rasanya.


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *