Suatu kali kubaca berita berjudul “Peneliti: Tidak Perlu Mandi Setiap Hari”. Berita ini masih banyak jurang informasi, karena nggak membahas apa saja manfaat jarang mandi. Terlepas dari kurangnya beberapa jembatan informasi, bagiku, sajian kontennya mayan seru.
Sebenarnya, keseruan itu bisa berlipat ganda kalo aku juga diwawancarai. Aku punya pendapat yang lebih asik dan bernas, soal mengapa kita tidak harus mandi setiap hari.
Aku nggak minat membahas beritanya secara keseluruhan, tapi ada satu bagian yang terlalu manis untuk dilupakan. Pada berita itu, ada pernyataan yang mayan bernas dari dr. Mitchell, begini bunyinya: “Padahal, fungsinya mandi hanyalah menghilangkan bau tubuh.”
Mengapa pernyataan itu mayan bernas? Karena aku lumayan setuju.
Kenapa lumayan setuju? Karena nggak setuju sepenuhnya. Mandi selain menghilangkan bau, juga memang bisa bikin seger. Apalagi di musim kemarau seperti ini.
.
Tidak sedikit orang takut sama bau badannya sendiri–aroma alaminya. Mereka takut mengganggu kenyamanan indera penciuman orang lain, yang akhirnya bikin kepedean mereka sendiri terjun payung. Syungggg~
Itulah salah satu penyebab mereka rajin mandi. Dan untuk ‘menyempurnakan’ aroma badan pasca mandi, mereka semprotkan parfum, balurkan minyak wangi, gilaskan bola deodoran pada kelek, de el el.
Sejujurnya, aku ndak anti sama yang begituan. Kalo pas ada minyak wangi dan pengen pakek, ya pakek aja. Kalo pas pengen macak total karena mau ketemuan sama cewek, ya pakek aja. Kadang minta punyanya temen. Kadang juga belain buat beli sendiri. Tapi tidak pernah mengharuskan diri.
Meski begitu, aku ini juga manusia biasa. Aku juga tidak pelak dari perasaan tidak nyaman terhadap bau badan menyengat dari orang lain. Kadang, aku juga mengeluh akan bau kelek sendiri. Pada beberapa kesempatan langka, aku juga menerima keluhan bau badanku dari mereka yang mau jujur. Tapi bukan berarti mandi dan ‘menyulap’ bau badan jadi satu-satunya jalan. Jalan alternatif yang bisa ditempuh adalah menerimanya dan pede-pede aja. Telanjang sama diri sendiri!
Intinya, ya nggak gitu-gitu amat. Tapi ya nggak gini-gini juga. Soal mandi dan turunannya, dibawa santai aja. Namanya juga mandi.
Menurut risetku sendiri, kita ini terlalu sering mandi. Dua kali sehari? Helaw?
Tapi, mumpung masih hidup, mandilah secukupnya dan sebersih-bersihnya. Kalo nggak sempet atau terlalu malas beranjak mandi, paling nggak cuci muka, sikat gigi, cuci selangkangan, lalu ganti sempak.
Seorang yang ndak bijak-bijak amat pernah bilang begini, “Karena kalo sudah mati, manusia tidak butuh apa-apa lagi–termasuk mandi.” Ya betul. Saat mati, jiwa sudah lepas-bebas dari tubuh. Ia ada di mana-mana.
“The spirit carries on,” kalo kata Dream Theater. Jadi, itu yang dimandiin cuma jasadnya aja.
Mumpung hidup, mari berkotor-kotoran. Lalu dihanyutkan dengan mandi. Kotor lagi, ya mandi lagi. Tapi nggak harus dua kali sehari. Seperlunya dan sebersih-bersihnya.
Supaya mandinya benar-benar bersih, orang mesti telanjang lebih dulu. Bulat dan tanpa sepotong pakaian.
Mana bisa bersihkan selangkangan kalo masih pakek sempak? Ya bisa. Tapi tidak bisa sebersih jika telanjang, karena masih ada yang ditutup-tutupi.
Setelah orangnya telanjang, ia baru bisa tahu mana titik-titik kotor. Jangan sampe membersihkan yang sebenarnya tidak kotor, atau melewatkan bagian yang kotor. Itu pekok namanya.
Bayangkan, kalo pas kotor aja pede dan nyaman-nyaman aja, apalagi usai mandi. Wuih.
.
Dua hari yang lalu, aku nonton acara malam sastra dan apresiasi puisi dari salah satu komunitas puisi di Denpasar. Di awal dan akhir acara, mereka–dengan nada agak tinggi, ngotot, dan mengurat–meneriakkan jargon komunitasnya. Aku lupa persisnya bunyi jargon secara keseluruhan, tapi ada sepenggal kalimat yang kuingat: “Dan jangan lupa mandi setiap hari.” Maksudnya apa hah? Apa hubungannya puisi sama mandi setiap hari? Pengen ta’ gampar mereka semua. Eh, kecuali yang cewek-cewek ding. Hehe.
Tinggalkan Balasan