A

Mari, berlindap di sini saja

  • Menyala Sekali Lagi

    Diterbitkan

    Untuk Ibukester

    Aku berangkat
    Menyingkap kabut dingin pekat.
    Hangat kudekap rapat,
    sambil kuingat-ingat
    gurat usia Ibu
    yang mengkerut
    dan berlipat-lipat.

    Aku tiba di sebuah liku.
    Dan baru kali itu,
    aku sungguh
    mengamati wajah Ibu,
    lagi.
    Yang semula satu kencang
    lalu mengendur seribu.

    Dalam perjalanan menghayati
    perasaan yang berkelok ini,
    aku tiba di rumah
    pada kenangan kanak-kanak
    yang amat awah,
    saat lapang wajah Ibu belum
    berundak-undak sawah.

    Dan di sana memunjung kasih
    yang mengkisahkan dirinya,
    tak lapuk waktu dan tempat
    karena bersemayam di sini,
    di kedalaman hati.
    Hangat pelita yang tak pernah padam.

    Tentu kehangatan ini
    tidak saja laksana abab
    yang berbab-bab.
    Dan kasih baru genap,
    jika itu lepas dari lembar dan sudah kubagikan
    kepada orang lain.

    Bahwa kasih Ibu tidak berhenti
    pada kenang-kenangan
    berbumbu roman.
    Yang menyaru
    sebagai haru biru,
    hanya tiap hari Ibu.
    Beku menjadi pajangan,
    tanpa titi sampai lelaku.

    Kasihnya tentu ‘kan kukenang
    karena ialah teman yang bernafas.
    Dan kasihnya ‘kan kusampaikan
    kepada liyan.
    Yang kuyup hujan persoalan.
    Yang tak mengenal Ibunya.
    Yang tak melihat sejumput Ibu
    di bapaknya.
    Yang sampai silap mata hati,
    akan keberadaan belas kasih
    yang meneduhkan.

    Belas kasih Ibu menyeka redup di badan
    dan kabut dalam kepala, lalu menyampirkan
    pakaian mereka yang kuyup,
    agar kering dan layak dikenakan kemudian,
    agar orang tak padam
    terang badannya,
    melanjutkan nyala hidupnya lagi.
    Menyala sekali lagi.

    Salatiga, 13 Februari 2022

  • Cium

    Diterbitkan

    adalah rama-rama
    yang tak disampaikan
    dengan kata, kalimat,
    apalagi paragraf

    barangkali tidak
    ada pokok pikiran di sana
    di mana kejut merajut
    simpul-simpul
    yang nyiur melambai
    untuk disimpan rapat-rapat

    tidak ada yang lain
    selain cium
    dan yang tak
    perlu disampaikan
    dengan kata
    yang melata

    sekali cium
    yang muncul
    bisa rajaman tanya
    bisa juga tidak
    siapa peduli?
    cium sudah melempar sauh
    berikut yang muncul
    adalah teduh

    yang tersampaikan memang
    hanya cium
    dan juga yang tak mungkin terucap
    cukup kecup
    dan jejak liur
    yang kering meresap
    menjadi degup
    yang akan tinggal
    sepanjang hidupmu
    di sabana pipimu

  • Bunga Zinia II

    Diterbitkan

    Setelah menyematkan puisi
    Dari kelopak bunga turun ke batangnya,
    Yang kuingat: akarnya.

    Sebelum matahari tenggelam,
    Kujambak, ragu-ragu
    Batangnya yang teguh
    Untuk hidup.
    Kujambak dengan lebih ragu-ragu,
    Hingga hidupnya tercerabut.

    Keraguan itu sekejap menguap
    Entah kemana,
    Karena rasanya mengendap.
    Menjadi rasa bersalah
    Yang lihai mencokokku
    Dengan penyesalan:
    “Mengapa umurnya skak mat hari ini,
    Sedang ia kelak akan mati alami?”

    Matahari terbit di belahan lain,
    Aku tenggelam di sini.

    2021

  • Bunga Zinia

    Diterbitkan

    Aku menjumpainya
    setiap lewat pagar 
    yang berderit tiap kemarau 
    mengejang dan embun merayap 

    Mengapa kau tumbuh di
    sana? Sedang yang lain 
    memilih pekarangan atau tepi jalan 

    Barangkali hanya aku
    yang menjeli kau
    dari mahkota hingga
    pangkal tangkai
    yang tumbuh beririsan dengan derit rel pagar 

    Keindahan itu seperti bilik,
    yang jika dimasuki orang yang pantas, ia ‘kan membujur sabana
    yang enak buat berbaring
    dan melangut atas hari-hari
    yang menguapkan hujan

    2021

  • Hati Burung-burung

    Diterbitkan

    Tak ada yang dapat
    memiliki hati burung-burung
    Angkasa adalah kekasih mereka
    Cintanya melayar bayu, berpadu-padan
    mengembus cuitan
    yang sedap didengar

    Tak ada yang dapat
    memiliki hati burung-burung
    Tak ada cinta
    di dalam sangkar,
    selain kepatuhan yang malang

    Duhai hatiku,
    bilamana aku kaku dan kering
    seperti jati yang meranggas,
    ajarkanku mencintai lagi
    menurut hati burung-burung
    yang menari kepak, menggenggam-lepas
    yang bernyanyi, berpagut-lucut
    sepanjang musim hujan
    sepanjang musim
    sepanjangmu, hidupku.

    Salatiga, 2021

  • Ida

    Diterbitkan

    Namanya Ida.
    Guruku paling pertama di jenjang SD.
    Rambut bergelombang,
    potongan pendek polwan,
    kacamata bingkai kotak.
    Gincu andalan warna ungu sore,
    berpadu dengan muka seputih gabus,
    dan jumlah senyumnya bisa disensus.

    Aku pernah kena marah,
    karena lemah di matematika
    yang sepanjang masa sekolah
    hanya kujamah-jamah.
    Mengapa aku tak pernah
    diajarkan menggenggamnya?

    Ida juga sering memukulkan
    penggaris kayu ke papan tulis atau meja,
    agar kelas kondusif.
    Tapi kondusif tidak sama dengan damai.
    Bagiku, Ida menakutkan.

    Tapi ketakutan itu
    tidak bertahan lama.

    Mapel pertama pagi itu:
    pendidikan olahraga dan olahrasa.
    Sejak ganti baju,
    badanku meriang.
    Gigiku cenut-cenut, kumat.
    Kupaksa ikut pelajaran,
    karena takut omelan.

    Hingga beberapa jenak
    setelah perenggangan
    kepala-pundak-lutut-kaki-lutut-kaki,
    aku berserah diri
    dan memilih mendengarkan desakan gigi.
    Aku minta izin
    meninggalkan lapangan, meninggalkan teman-teman.

    Kembali ke kelas,
    berdua saja dengan Ida.
    Agak grogi sebenarnya.
    Karena ini momen dua-duaan
    sejak kumengenalnya.

    Air mukanya dingin,
    tapi kali ini pancarannya hangat.
    Bagaikan oasis,
    ketika telapak tangannya
    bersauh teduh di dahiku
    yang mulai demam.

    Ida menelpon 8707707.
    Orang rumah diminta menjemput.
    Aku dimintanya menunggu di kelas.

    Sementara dia merampungkan
    tumpukan lembaran di mejanya.
    Kuletakkan menyilang kedua
    lenganku pada meja,
    lalu kepala yang berat kubaringkan di atasnya.
    Sebuah sikap memberontak paling dasar di sekolah dasar.

    Lalu, semuanya terasa menjadi-jadi.
    Cenut-cenut menjadi cuenut-cuenut.
    Makin siang makin meriang.
    Kudengar bunyi
    lembaran kertas dibolak-balik
    dari muka kelas,
    lirih teman-teman sekelas
    bercanda dan berlarian,
    detak detik yang makin nyaring,
    desau angin dingin
    bertiupan di dalam kelas.
    Semua itu membuatku tertidur ayam, pelan-pelan.

    Sesekali aku terbangun.
    Menengok jam dinding.
    Merapatkan tangan
    dan kepala.
    Mengkalibrasi posisi terpewe.

    Suatu ketika, aku benar-benar terbangun.
    Kudongakkan kepala,
    dan mataku memergoki Ida
    sedang menatapku iba.
    Sebuah tatapan yang langka.
    Sebuah pengalaman yang ingin
    kupamerkan kepada teman-teman.

    Bapak sudah sampai,
    Ida mengantarku sampai depan sekolah.

    Sejak hari itu,
    kemarahan Ida hari esok
    tak pernah sengeri hari kemarin.
    Laku dan tampaknya tetap dingin,
    meski kutahu ada pondok hangat,
    di sana,
    di rupanya yang tampak dingin dan kering.

    Salatiga, 1-8-2021

  • Syarat

    Diterbitkan

    Bapak dan Ibu minta pijat
    Sering dan tak mengundang minat
    Tanpa upah,
    tapi menjanjikan pahala dari Allah.

    Aku paling benci
    jika diminta memijat
    kaki kapal pecah.
    Sudah kapalan, pecah,
    kotor, keras pula.

    Kusampaikan ke mereka:
    Kalau cuci kaki lebih dulu
    kapal pecah jadi kayu lunak.
    Kalau bersih dan lunak,
    pijatanku lebih enak.

    Salatiga, 16-5-2021

  • Plong

    Diterbitkan

    Hari ini aku kecelakaan motor
    Rem blong di turun-tikung Sepakung
    Bibir dengkulku andhap asor
    Secepat plong pada buntunya hidung

    Mendarat di gembur jelaga
    Kucobai diri untuk hura-hura
    Ternyana masih bisa tertawa
    Kubantu teman yang mengingsut papa
    Jelas lebih riang kutertawa

    Rem yang blong
    Membawa kesadaran yang plong
    Betapa celaka sedekat desing di kolong
    Ketika sempat berbenah, tak kunjung kita songsong

    Rem yang blong
    Kusadar
    Betapa celaka yang tertunda
    Akhirnya tiba juga:
    aku tiba, tiba-tiba.

    2020

  • Bapak Saksirku

    Diterbitkan

    Kalau gede,
    Susan mau jadi apa?
    Tak pernah ada yang tahu.
    Susan tak kunjung gede.
    Cita-citanya jadi dokter,
    sejak awal,
    hanyalah pertunjukan.

    Kita menonton Susan,
    sedari masih sebocah Susan.
    Sekarang kalian sudah gede,
    jadi apa?

    Kalau aku,
    sekarang,
    sudah lumayan gede,
    dan tahu mau jadi apa.

    Aku tidak ingin
    jadi apa-apa.
    Setelah kusisiri
    kolong langit keinginan,
    dan kusibak
    awan-awan malam
    yang mengaburkan pasir bintang,
    kusadari,
    tidak ada keinginan
    yang benar-benar
    kuinginkan, sepanjang masa.

    Usai urusan dengan
    langit dan awan,
    yang ada hanya berikut:
    angkasa yang selalu kulangut
    kelamnya
    Di mana kebebasan
    melagu sayup
    petikan Gontiti
    kala pagi yang asa.
    Semua ini membawaku
    kepada sebuah simpul,
    yang sewaktu-waktu
    dapat kuurai seenak hati.
    Saksirku.

    Aku sungguh
    tidak ingin
    menjadi apa-apa.
    Biar bebas
    jadi apa saja.

    Dalam khazanah misteri
    yang tidak menyeramkan,
    kebetulan saja,
    aku sedang membayangkan
    menjadi bapak.
    Seorang bapak.
    Yang akan mencintai:
    anaknya.
    Mengenalkan puisi kepadanya.
    Memberi makan cukup:
    nasi, sambel bawang tempe,
    lalap kecipir dan pare,
    dengan rempah-rempah puisi.
    Sebagaimana Bapakku dulu,
    mengenalkanku pada puisi yang puitis
    melalui hidangan gobyos itu.

    Tiap lahap puitis
    yang ia kecap,
    akan membuatnya
    selalu siap menghadapi hari.
    Dan ia akan berterimakasih
    pada bapaknya,
    karena telah mencintai ibunya.
    Tanpa harus
    melulu berpuisi bibir
    di tiap temu kenalnya,
    karena telah karib
    dengan kepuitikan kekasihnya
    sebagai laku dan laki.
    Bapak ini kelak
    akan mencintainya,
    dan melingkar delapan
    bertumbuh seirama
    dengan anaknya.
    Ia akan memahami
    bahwa tidak semua puisi
    itu puitis.
    Dan kepuitisan
    bisa ditemui pada hal-hal
    di mana puisi tidak hadir.

    Mimpi ini gijuh.
    Tinggi dan jauh.
    Karena memang ketinggian
    dan terlampau jauh.
    Tentu saja ini cuma
    mimpi sosok bapak
    yang belum ada.
    Yang barangkali,
    hitungan tahun cahaya
    lagi baru sampai
    ke amba binar
    yang ‘kan menangkapnya.

    Dan tentu,
    anak bisa jadi apa saja.
    Tanpa harus jadi
    seperti yang
    dimimpikan bapak-ibunya.
    Yang harus cuma satu:
    kalo di meja dapur adanya
    nasi, sambel bawang tempe,
    kenikir, pare,
    dan sepiring cocolan puisi,
    ya harus dimakan!
    Gak usah riwil!

    Salatiga, 14 Juni 2020

  • Melanjutkan Perjalanan

    Diterbitkan

    Untuk mereka yang mengenang Arief Budiman

    Namanya sering kudengar
    Tapi selalu samar-samar
    Aku tak pernah begitu dekat,
    untuk mengenal lenteranya
    Yang lamat-lamat
    tercekat gigil kabut purba
    yang culas dan menyaru baru

    Paling dekat,
    aku hanya mertamu
    ke mahligainya di pinggir kali
    Tempat ia menghabiskan hari,
    yang tak pernah ia ketahui
    kapan habisnya

    Duduk-duduk
    di beranda persegi empat,
    ngobrol segenggam setumbuk
    pun kami tak sempat
    Ia sudah kebanyakan pikiran;
    daripada mendongeng
    sebuah pengulangan,
    ia memilih bersandar
    dan mendengarkan —
    meski harus tertatih-tatih.
    Ia tampak kesulitan,
    terganggu kejang-kejang.

    Beberapa kejang kemudian,
    istri dan perawatnya bilang:
    “Bapak harus banyak rehat.
    Dan kau harus pulang
    dengan kuah dingin,
    dan jangan pernah
    kau hangatkan lagi.”
    Penasaranku yang matahari saat itu,
    belakangan kusadari,
    ternyata adalah bintang mati
    yang baru bisa kunikmati
    cahayanya di hari ini.
    Atau ibarat ilmu pegunungan
    di dekat sini,
    saat itu akulah Merapi
    yang batuk freatik
    wayah dini hari

    Di gelanggang ajar yang besar
    Kisahnya adalah tentang geni dan sekar
    Setidaknya itu yang kudengar
    dari mereka yang karenanya,
    hidupnya bermekaran.
    Meski bagiku,
    buah pikirnya
    tak pernah begitu ku ilhami teliti
    Masuk telinga kanan,
    kabur telinga kiri.

    Dan hingga hari ini,
    kisahnya masih sering kudengar
    Kudengar orang ini arif
    Kudengar orang ini budiman
    Kudengar orang ini baru saja melanjutkan perjalanan

    Salatiga, 24 April 2020