Wong Ker-eng

Mari, berlindap di sini saja

  • What’s Mine

    Diterbitkan

    Let me speak for myself
    I don’t need no council
    to give away any thoughts
    of something akin to calm water
    or repulsive and sinister ones

    Let me speak for myself
    don’t waste your day
    by hanging hollow words
    which I don’t appreciate no more
    do not mine what’s mine, very fondly

    You said you’d want me
    to be better
    but what’s better?
    Listen! Carefully!
    Let me speak for myself

    05-25-2024

  • Voyagers

    Diterbitkan

    Us should sleep
    All the way black and deep
    Let go of burdens
    we’ve been carried
    Do us, least, a good deed

    To-morrow awaits for our leap
    And I’ll be a friend to your feet
    Let us share love like skin
    For every truth and pain,
    let’s be plain

    These roads are meant
    to be shared
    These trees along the path, too
    May the journey ardently
    bear us fruits and friends
    For changes, sometimes,
    can be too dank
    to be lodged in

    If our feet grow weary,
    which is natural,
    we can lie still
    on each other’s savannah
    Cheek to cheek
    Then roll over and over
    and over
    until we fall into
    the passion of a kiss

    A kiss that tastes like
    bottomless dialogue
    Along with Honesty, which is ours
    and not Billy Joel’s
    Ours is shareable
    because we are infinite
    All the others
    is bon voyage
    to us

    Dec 30, 2021

  • Suara

    Diterbitkan

    tak ada suara lain, 
    hanya suara hati yang tinggal di sini
    laksana benang sebelum kain
    suaranya lirih dan dini

    2022

  • Krematorium

    Diterbitkan

    Di sana tempat kita tiba
    dan meletak dalam tungku api
    memanggang semua yang pernah terlewat, tertunda
    atau tak sampai habis
    Dan kini di hadapan api
    kita memanggang diri sampai abu
    dan barangkali segumpal asap pun
    tak akan mengepul dari sana
    sebab api di sini hanya melahap
    tudung-tudung kita perihal duka

    Di krematorium ini
    tempat persilangan hidup dan mati
    Kita mengantar yang telah abu
    menuju rongga-rongga kehidupan
    yang tak kasat mata
    Di mana semua lampu dipadamkan
    karena pagi hari telah datang, begitu katanya
    Sedangkan yang masih hidup,
    mesti lebih dulu mendekap duka erat-erat
    sebelum dilepas-lucutkan
    menjadi daya yang cukup
    untuk melanjutkan hidup sekali lagi

    3 Desember 2023

  • Amin

    Diterbitkan

    setelah mengucapkannya,
    hari berganti seiring dengan matahari tenggelam
    seperti aku yang terlahir kembali
    saat tubuh-Mu meleleh di dalam mulutku
    hening dan hangat
    meriap dari dada ke sekujur tubuhku
    dan baru kali ini aku menyadari kerahiman-Nya!

    kenapa baru sekarang?
    ke mana saja aku selama ini?
    sedangkan Kau selalu hadir
    seperti hening yang meletak di antara tangga nada,
    seperti ruang yang merongga di antara kita,
    seperti nafas yang menarik-embus di antara isak tangis;
    selamat dari celaka yang menyergap,
    juga serat-serat sembuh yang merajut kala celaka terlanjur luka
    dan segala pintu pertanyaanku luruh
    membentang untuk mengalami tubuh-Mu
    yang mendahului segala tanda dan sudut pandang
    bersama air mata yang lepas dari taman kata-kata
    aku menangis dan terlahir kembali

    Januari 2023

  • Murni

    Diterbitkan

    Bersamanya kuingin mengerti
    lebih terbentang
    tentang hidup dan hati
    yang kanak dan murni
    Dan tinggal di dalamnya
    Di manapun kini berada
    Sampai takut mati menjadi Sunyi
    yang akbar dan tak kumandang

    Barangsiapa takut mati,
    ia takut hidup
    Hidup dan mati bukan dualitas
    Mati ada di dalam hidup
    Maka hiduplah dengan hati
    Sampai kembali kanak dan murni

    2022

  • Sebuah Ulasan

    Diterbitkan

    Puisi-puisinya tak mampu kupahami
    bukan karena terlalu pribadi
    atau telur-telur lariknya tak menetas makna
    Boleh dikata,
    setidaknya ini menurutku sendiri,
    puisinya jelek!
    tidak puitis!
    uelek!
    Itu adalah puisi-puisi yang
    layak dibuang dan lebih baik
    tidak dituliskan, dipikirkan,
    lewat sekelebat saja sudah untung betul!

    Membacanya berkali-kali,
    membuatku bergelak tawa
    dalam bilik hatiku
    yang gelap dan bikin merinding.

    Tapi tak mungkin ini
    kusampaikan padanya.
    Bukan. Setidaknya ini perlu kusampaikan,
    tapi harus kuamplas
    dulu perkataanku.
    Yang kasar-kasar kutelan sendiri,
    supaya yang halus sampai kepadanya.
    “Lanjutkan saja, dan…”
    Dan kuberikan bacaan puisi-puisi
    yang bernas,
    dengan harap,
    itu semua bisa memantik kembang apinya.
    Menarik hal-hal puitis di sekitarnya,
    ia cerap dan menjadi karya tulis
    yang mendekap pembacanya.

    Kupantau tiap puisi barunya terbit,
    dan tak kunjung bisa merasakan
    hangat sinarnya
    melesap ke dalam cahaya puisi-puisinya.
    Barangkali betul apa yang kusangsikan di awal,
    puisi-puisinya dihadirkan terlalu pribadi
    dan larik-lariknya ibarat telur
    yang gagal menetas, membusuk dan mati.
    Apa yang salah?
    Tak pernah kutanyakan padanya,
    hanya kepadaku.
    Barangkali, aku memang jumawa.

    Hingga suatu kata,
    di suatu malam yang redup,
    aku membaca salah satu tulisannya.
    Bukan puisi atau prosa.
    Melainkan catatan ulasan,
    pengalamannya menumpang
    dalam perjalanan bus AKAP.
    Aku terpukau dengan
    penghayatannya yang tertulis,
    bagaimana detil-detil dimensi bus
    yang ia tumpangi:
    interior, eksterior, AC, jumlah kursi,
    seri bus, harga tiket, rute, air suspension,
    double decker, supir dan hal-hal baru yang
    dapat kupahami, mendekapku
    bersama dunianya.
    Membacanya,
    membuatku lebih tajam.
    Tulisan yang baik akan menajamkan pembacanya.
    Ulasannya begitu puitis.
    Jauh lebih puitis dari puisi-puisinya.
    Kepuitisannya sampai padaku,
    tanpa harus diupayakan dalam bentuk puisi.
    Segera malam itu kusampaikan padanya:
    “Kau ini bus mania yang berpakaian pujangga.”

    Salatiga, 2022

  • Anggur Tua

    Diterbitkan

    menjadi manusia
    barangkali tentang
    tidak menaruh kayu bakar
    di atas lidah berapi-api
    dan lebih bergairah
    dengan para sahabat
    yang seperti anggur tua
    semakin tua umurnya, semakin tebal kematangannya
    matang dan hangat saat duka mencekat
    sejenak lupa dan ringan dalam tawa
    ringan dalam menabur bunga-bunga duka

    2022

  • Kuyup

    Diterbitkan

    Untuk Yang Tersayang Nona Mujiati

    Kulayarkan bayu rindu ini
    agar menjadi awan di atas sana
    bersama gugusan awan lain
    yang menanti gilir menari alam
    bersama angin

    Kukatakan kepada angin:
    “Angin, kirimkan awan ini
    kepada angin di sana.”
    Angin bergeming,
    Ia mengembus.

    Mungkin alamat dan nama penerimanya
    kurang jelas,
    maka kukatakan lagi padanya:
    “Angin, kirimkan awan ini kepada
    angin di sana. Supaya angin di sana dapat
    mengantarnya ke
    Nona yang kurindu.”
    Angin bergeming,
    ia mengembus.

    Kali ini embusnya lebih terasa,
    ia menyelinap
    masuk ke pelupuk mata,
    membuatnya agak perih,
    berair.

    Sialan juga ini angin, batinku
    Sengaja, rindu ini tidak
    kutitipkan pada burung-burung
    juru sampai.
    Sebagaimana mereka pernah
    begitu karib dengan kita,
    menyanyikan pesan cita, duka dan perang
    kepada tujuannya.

    Kini mereka lebih banyak
    menyanyi dari dalam sangkar
    dan dari dalam celana
    dari dalam sangkar bapak-bapak
    tak berotak, tak bercelana.

    Kukatakan lagi pada angin:
    “Tolong sampaikan awan ini
    kepada Nona yang kurindu.
    Awan ‘kan turun merenda
    kepadanya,
    supaya kuyup Nona dan mengerti
    betapa rindu ini menangis.”
    Angin bergeming,
    ia mengembus.

    Angin berembus,
    aku bergeming.
    Permohonanku pupus
    seperti putik randa tapak,
    tertiup meninggalkan tangkainya.
    Awan kecil di atas sana
    turun merenda,
    membasahi tangisku sendiri.
    Barangkali,
    Nona yang kukenal sudah mati
    dilahap keji sipir
    ditelan nyanyian-nyanyian getir
    dari dalam sel.
    Angin mengembus,
    hujan belum berhenti.

    2022

  • Menyala Sekali Lagi

    Diterbitkan

    Untuk Ibukester

    Aku berangkat
    Menyingkap kabut dingin pekat.
    Hangat kudekap rapat,
    sambil kuingat-ingat
    gurat usia Ibu
    yang mengkerut
    dan berlipat-lipat.

    Aku tiba di sebuah liku.
    Dan baru kali itu,
    aku sungguh
    mengamati wajah Ibu,
    lagi.
    Yang semula satu kencang
    lalu mengendur seribu.

    Dalam perjalanan menghayati
    perasaan yang berkelok ini,
    aku tiba di rumah
    pada kenangan kanak-kanak
    yang amat awah,
    saat lapang wajah Ibu belum
    berundak-undak sawah.

    Dan di sana memunjung kasih
    yang mengkisahkan dirinya,
    tak lapuk waktu dan tempat
    karena bersemayam di sini,
    di kedalaman hati.
    Hangat pelita yang tak pernah padam.

    Tentu kehangatan ini
    tidak saja laksana abab
    yang berbab-bab.
    Dan kasih baru genap,
    jika itu lepas dari lembar dan sudah kubagikan
    kepada orang lain.

    Bahwa kasih Ibu tidak berhenti
    pada kenang-kenangan
    berbumbu roman.
    Yang menyaru
    sebagai haru biru,
    hanya tiap hari Ibu.
    Beku menjadi pajangan,
    tanpa titi sampai lelaku.

    Kasihnya tentu ‘kan kukenang
    karena ialah teman yang bernafas.
    Dan kasihnya ‘kan kusampaikan
    kepada liyan.
    Yang kuyup hujan persoalan.
    Yang tak mengenal Ibunya.
    Yang tak melihat sejumput Ibu
    di bapaknya.
    Yang sampai silap mata hati,
    akan keberadaan belas kasih
    yang meneduhkan.

    Belas kasih Ibu menyeka redup di badan
    dan kabut dalam kepala, lalu menyampirkan
    pakaian mereka yang kuyup,
    agar kering dan layak dikenakan kemudian,
    agar orang tak padam
    terang badannya,
    melanjutkan nyala hidupnya lagi.
    Menyala sekali lagi.

    Salatiga, 13 Februari 2022