Untuk Ibukester
Aku berangkat
Menyingkap kabut dingin pekat.
Hangat kudekap rapat,
sambil kuingat-ingat
gurat usia Ibu
yang mengkerut
dan berlipat-lipat.
Aku tiba di sebuah liku.
Dan baru kali itu,
aku sungguh
mengamati wajah Ibu,
lagi.
Yang semula satu kencang
lalu mengendur seribu.
Dalam perjalanan menghayati
perasaan yang berkelok ini,
aku tiba di rumah
pada kenangan kanak-kanak
yang amat awah,
saat lapang wajah Ibu belum
berundak-undak sawah.
Dan di sana memunjung kasih
yang mengkisahkan dirinya,
tak lapuk waktu dan tempat
karena bersemayam di sini,
di kedalaman hati.
Hangat pelita yang tak pernah padam.
Tentu kehangatan ini
tidak saja laksana abab
yang berbab-bab.
Dan kasih baru genap,
jika itu lepas dari lembar dan sudah kubagikan
kepada orang lain.
Bahwa kasih Ibu tidak berhenti
pada kenang-kenangan
berbumbu roman.
Yang menyaru
sebagai haru biru,
hanya tiap hari Ibu.
Beku menjadi pajangan,
tanpa titi sampai lelaku.
Kasihnya tentu ‘kan kukenang
karena ialah teman yang bernafas.
Dan kasihnya ‘kan kusampaikan
kepada liyan.
Yang kuyup hujan persoalan.
Yang tak mengenal Ibunya.
Yang tak melihat sejumput Ibu
di bapaknya.
Yang sampai silap mata hati,
akan keberadaan belas kasih
yang meneduhkan.
Belas kasih Ibu menyeka redup di badan
dan kabut dalam kepala, lalu menyampirkan
pakaian mereka yang kuyup,
agar kering dan layak dikenakan kemudian,
agar orang tak padam
terang badannya,
melanjutkan nyala hidupnya lagi.
Menyala sekali lagi.
Salatiga, 13 Februari 2022