Kesombongan datangnya seperti maling.
Kerap luput dari sorot mata
yang menancap di bawah kening.
Ia biasa singgah di mahligai manusia,
yang merasa sudah setinggi Babel,
sedalam hati perempuan,
seluas sabana Merbabu.
Ia lihai menyusup lewat jendela kamar,
sewaktu malam dan manusia lelap.
Ia mengincar nikmat,
dan sekejap membuatnya pahit pekat
tanpa khidmat
Manusia kerap lupa,
namun kesombongan selalu ingat kita.
Bibit mengagungkan diri,
tak lain,
ditebar manusianya sendiri.
Ia tumbuh mandiri
dan menggerogoti,
ketika manusia merasa dirinya lebih waras.
Lebih dermawan.
Lebih disegani orang.
Gejalanya tak kentara,
tak berbau.
Lepas dari sadar tataran beranda.
Wujud kesombongan ialah aku.
Aku yang merasa sedang tidak sombong,
ternyata tengah digaruk dagu tinggi —
membacok diri sendiri.
Salatiga, 2015