Puisi-puisinya tak mampu kupahami
bukan karena terlalu pribadi
atau telur-telur lariknya tak menetas makna
Boleh dikata,
setidaknya ini menurutku sendiri,
puisinya jelek!
tidak puitis!
uelek!
Itu adalah puisi-puisi yang
layak dibuang dan lebih baik
tidak dituliskan, dipikirkan,
lewat sekelebat saja sudah untung betul!
Membacanya berkali-kali,
membuatku bergelak tawa
dalam bilik hatiku
yang gelap dan bikin merinding.
Tapi tak mungkin ini
kusampaikan padanya.
Bukan. Setidaknya ini perlu kusampaikan,
tapi harus kuamplas
dulu perkataanku.
Yang kasar-kasar kutelan sendiri,
supaya yang halus sampai kepadanya.
“Lanjutkan saja, dan…”
Dan kuberikan bacaan puisi-puisi
yang bernas,
dengan harap,
itu semua bisa memantik kembang apinya.
Menarik hal-hal puitis di sekitarnya,
ia cerap dan menjadi karya tulis
yang mendekap pembacanya.
Kupantau tiap puisi barunya terbit,
dan tak kunjung bisa merasakan
hangat sinarnya
melesap ke dalam cahaya puisi-puisinya.
Barangkali betul apa yang kusangsikan di awal,
puisi-puisinya dihadirkan terlalu pribadi
dan larik-lariknya ibarat telur
yang gagal menetas, membusuk dan mati.
Apa yang salah?
Tak pernah kutanyakan padanya,
hanya kepadaku.
Barangkali, aku memang jumawa.
Hingga suatu kata,
di suatu malam yang redup,
aku membaca salah satu tulisannya.
Bukan puisi atau prosa.
Melainkan catatan ulasan,
pengalamannya menumpang
dalam perjalanan bus AKAP.
Aku terpukau dengan
penghayatannya yang tertulis,
bagaimana detil-detil dimensi bus
yang ia tumpangi:
interior, eksterior, AC, jumlah kursi,
seri bus, harga tiket, rute, air suspension,
double decker, supir dan hal-hal baru yang
dapat kupahami, mendekapku
bersama dunianya.
Membacanya,
membuatku lebih tajam.
Tulisan yang baik akan menajamkan pembacanya.
Ulasannya begitu puitis.
Jauh lebih puitis dari puisi-puisinya.
Kepuitisannya sampai padaku,
tanpa harus diupayakan dalam bentuk puisi.
Segera malam itu kusampaikan padanya:
“Kau ini bus mania yang berpakaian pujangga.”
Salatiga, 2022