Untuk mereka yang mengenang Arief Budiman
Namanya sering kudengar
Tapi selalu samar-samar
Aku tak pernah begitu dekat,
untuk mengenal lenteranya
Yang lamat-lamat
tercekat gigil kabut purba
yang culas dan menyaru baru
Paling dekat,
aku hanya mertamu
ke mahligainya di pinggir kali
Tempat ia menghabiskan hari,
yang tak pernah ia ketahui
kapan habisnya
Duduk-duduk
di beranda persegi empat,
ngobrol segenggam setumbuk
pun kami tak sempat
Ia sudah kebanyakan pikiran;
daripada mendongeng
sebuah pengulangan,
ia memilih bersandar
dan mendengarkan —
meski harus tertatih-tatih.
Ia tampak kesulitan,
terganggu kejang-kejang.
Beberapa kejang kemudian,
istri dan perawatnya bilang:
“Bapak harus banyak rehat.
Dan kau harus pulang
dengan kuah dingin,
dan jangan pernah
kau hangatkan lagi.”
Penasaranku yang matahari saat itu,
belakangan kusadari,
ternyata adalah bintang mati
yang baru bisa kunikmati
cahayanya di hari ini.
Atau ibarat ilmu pegunungan
di dekat sini,
saat itu akulah Merapi
yang batuk freatik
wayah dini hari
Di gelanggang ajar yang besar
Kisahnya adalah tentang geni dan sekar
Setidaknya itu yang kudengar
dari mereka yang karenanya,
hidupnya bermekaran.
Meski bagiku,
buah pikirnya
tak pernah begitu ku ilhami teliti
Masuk telinga kanan,
kabur telinga kiri.
Dan hingga hari ini,
kisahnya masih sering kudengar
Kudengar orang ini arif
Kudengar orang ini budiman
Kudengar orang ini baru saja melanjutkan perjalanan
Salatiga, 24 April 2020