Malam Selasa.
Kuambil hape dari saku.
Ada ratusan nama.
Aku cuma menuju namamu.
Menekan tuts.
Membentuk serangkaian kata.
Hapus lagi.
Ketik lagi.
Yang satu ini mantap.
Kutawari: “Mau kopi atau susu?”
“Apa saja, asal masih di Salatiga,” katamu.
…
…
…
Malam Rabu.
Dirimu.
Bersedia.
Dari kos.
Ke kampus.
Jalan kaki.
Aku berdecak kagum.
Kita.
Ambil langkah menuju motor, yang kupinjam dari seorang kawan.
Kita lenggang bersama.
…
…
…
Kita.
Perut kerucukan.
Memesan.
Lalu makan.
Tomyam Ayam.
Punyamu, aku lupa.
Pedas.
Buat makanmu lamanya tak keruan.
Memesan.
Air putih.
Punyamu, aku ingat: Es teh.
Dirimu.
Minum saja, juga lama.
Belum tuntas pula.
Dirimu.
Camil.
Perkedel.
Kunyah.
Telan.
Teguk.
Es teh.
Sedotanmu membunyikan seruput.
Minummu lama sekali.
…
…
…
Motor.
Jaket.
Helm.
Kita ditusuk dinginnya Grogol.
Menuju sebuah kedai yang murup atas nama susu sapi.
Parkir.
Memesan.
Susu coklat.
Susu putih.
Hangat.
Kita.
Seruput.
Pelan.
Sama-sama.
Kita sama-sama lama.
Lama-lama menciptakan kekinian bersama.
Pecah guyon.
Basa-basi yang ternyata tidak basi — jika diingat-ingat lagi.
Tengok penunjuk waktu di hape.
Pukul sepuluh malam kurang.
Kita pulang.
…
…
…
Motor.
Jaket.
Helm.
Tiba.
Kosmu.
Singgah? Tidak dulu.
Kita.
Saling melambaikan kaki.
Ini bukan kiasan.
Benar-benar melambaikan kaki.
Konyol.
Di tumit kaki ditaruh asa agar jumpa di lain hari.
…
…
…
Motor.
Jaket.
Helm.
Aku.
Langsung pulang.
Malam itu berakhir di ujung pesan hapeku.
Dari sana tersiar kabar bahwa kita saling menikmati kencan itu.
Oktober 2014
Catatan: Puisi ini masuk ke dalam antologi puisi Kitab Cinta, sayembara puisi yang diselenggarakan Teater KiTA Pekalongan pada 2015.