A

Mari, berlindap di sini saja

Ida

Diterbitkan

Namanya Ida.
Guruku paling pertama di jenjang SD.
Rambut bergelombang,
potongan pendek polwan,
kacamata bingkai kotak.
Gincu andalan warna ungu sore,
berpadu dengan muka seputih gabus,
dan jumlah senyumnya bisa disensus.

Aku pernah kena marah,
karena lemah di matematika
yang sepanjang masa sekolah
hanya kujamah-jamah.
Mengapa aku tak pernah
diajarkan menggenggamnya?

Ida juga sering memukulkan
penggaris kayu ke papan tulis atau meja,
agar kelas kondusif.
Tapi kondusif tidak sama dengan damai.
Bagiku, Ida menakutkan.

Tapi ketakutan itu
tidak bertahan lama.

Mapel pertama pagi itu:
pendidikan olahraga dan olahrasa.
Sejak ganti baju,
badanku meriang.
Gigiku cenut-cenut, kumat.
Kupaksa ikut pelajaran,
karena takut omelan.

Hingga beberapa jenak
setelah perenggangan
kepala-pundak-lutut-kaki-lutut-kaki,
aku berserah diri
dan memilih mendengarkan desakan gigi.
Aku minta izin
meninggalkan lapangan, meninggalkan teman-teman.

Kembali ke kelas,
berdua saja dengan Ida.
Agak grogi sebenarnya.
Karena ini momen dua-duaan
sejak kumengenalnya.

Air mukanya dingin,
tapi kali ini pancarannya hangat.
Bagaikan oasis,
ketika telapak tangannya
bersauh teduh di dahiku
yang mulai demam.

Ida menelpon 8707707.
Orang rumah diminta menjemput.
Aku dimintanya menunggu di kelas.

Sementara dia merampungkan
tumpukan lembaran di mejanya.
Kuletakkan menyilang kedua
lenganku pada meja,
lalu kepala yang berat kubaringkan di atasnya.
Sebuah sikap memberontak paling dasar di sekolah dasar.

Lalu, semuanya terasa menjadi-jadi.
Cenut-cenut menjadi cuenut-cuenut.
Makin siang makin meriang.
Kudengar bunyi
lembaran kertas dibolak-balik
dari muka kelas,
lirih teman-teman sekelas
bercanda dan berlarian,
detak detik yang makin nyaring,
desau angin dingin
bertiupan di dalam kelas.
Semua itu membuatku tertidur ayam, pelan-pelan.

Sesekali aku terbangun.
Menengok jam dinding.
Merapatkan tangan
dan kepala.
Mengkalibrasi posisi terpewe.

Suatu ketika, aku benar-benar terbangun.
Kudongakkan kepala,
dan mataku memergoki Ida
sedang menatapku iba.
Sebuah tatapan yang langka.
Sebuah pengalaman yang ingin
kupamerkan kepada teman-teman.

Bapak sudah sampai,
Ida mengantarku sampai depan sekolah.

Sejak hari itu,
kemarahan Ida hari esok
tak pernah sengeri hari kemarin.
Laku dan tampaknya tetap dingin,
meski kutahu ada pondok hangat,
di sana,
di rupanya yang tampak dingin dan kering.

Salatiga, 1-8-2021