A

Mari, berlindap di sini saja

Bapak Saksirku

Diterbitkan

Kalau gede,
Susan mau jadi apa?
Tak pernah ada yang tahu.
Susan tak kunjung gede.
Cita-citanya jadi dokter,
sejak awal,
hanyalah pertunjukan.

Kita menonton Susan,
sedari masih sebocah Susan.
Sekarang kalian sudah gede,
jadi apa?

Kalau aku,
sekarang,
sudah lumayan gede,
dan tahu mau jadi apa.

Aku tidak ingin
jadi apa-apa.
Setelah kusisiri
kolong langit keinginan,
dan kusibak
awan-awan malam
yang mengaburkan pasir bintang,
kusadari,
tidak ada keinginan
yang benar-benar
kuinginkan, sepanjang masa.

Usai urusan dengan
langit dan awan,
yang ada hanya berikut:
angkasa yang selalu kulangut
kelamnya
Di mana kebebasan
melagu sayup
petikan Gontiti
kala pagi yang asa.
Semua ini membawaku
kepada sebuah simpul,
yang sewaktu-waktu
dapat kuurai seenak hati.
Saksirku.

Aku sungguh
tidak ingin
menjadi apa-apa.
Biar bebas
jadi apa saja.

Dalam khazanah misteri
yang tidak menyeramkan,
kebetulan saja,
aku sedang membayangkan
menjadi bapak.
Seorang bapak.
Yang akan mencintai:
anaknya.
Mengenalkan puisi kepadanya.
Memberi makan cukup:
nasi, sambel bawang tempe,
lalap kecipir dan pare,
dengan rempah-rempah puisi.
Sebagaimana Bapakku dulu,
mengenalkanku pada puisi yang puitis
melalui hidangan gobyos itu.

Tiap lahap puitis
yang ia kecap,
akan membuatnya
selalu siap menghadapi hari.
Dan ia akan berterimakasih
pada bapaknya,
karena telah mencintai ibunya.
Tanpa harus
melulu berpuisi bibir
di tiap temu kenalnya,
karena telah karib
dengan kepuitikan kekasihnya
sebagai laku dan laki.
Bapak ini kelak
akan mencintainya,
dan melingkar delapan
bertumbuh seirama
dengan anaknya.
Ia akan memahami
bahwa tidak semua puisi
itu puitis.
Dan kepuitisan
bisa ditemui pada hal-hal
di mana puisi tidak hadir.

Mimpi ini gijuh.
Tinggi dan jauh.
Karena memang ketinggian
dan terlampau jauh.
Tentu saja ini cuma
mimpi sosok bapak
yang belum ada.
Yang barangkali,
hitungan tahun cahaya
lagi baru sampai
ke amba binar
yang ‘kan menangkapnya.

Dan tentu,
anak bisa jadi apa saja.
Tanpa harus jadi
seperti yang
dimimpikan bapak-ibunya.
Yang harus cuma satu:
kalo di meja dapur adanya
nasi, sambel bawang tempe,
kenikir, pare,
dan sepiring cocolan puisi,
ya harus dimakan!
Gak usah riwil!

Salatiga, 14 Juni 2020